Makalah Ushul Fiqh

USUL FIQIH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ushul Fiqh  
Dosen: Husni Rofiq, S.Ag.
Oleh:
Setio Aji Nugroho                                       PAI/ I                         015.011.0015
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI BANDUNG
2015

BAB 1

PENDAHULUAN

            Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1.      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2.      Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :           
Artinya:
“islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.      Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4.      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5.      Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh, segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelsaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa penulis ucapkan shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa Allah SWT karuniakan kepada Nabi paling mulia yaitu Nabi Muhammad SAW, serta para keluarga dan sahabat – sahabatnya sepanjang masa, serta para pengikut setia beliau hingga akhir zaman.  Penulis bersyukur kpada Illahi Rabbi yang telah memberikan taufik serta hidayah-NYA kepada penulis sehingga makalah Ushul Fiqh dapat terselesaikan.
Semoga makalah yang sederhana ini bisa dengan mudah dimengerti dan dapat dipahami maknanya. penulis meminta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan makalah ini, serta bila ada kalimat yang kurang berkenan untuk dibaca. Akhirnya kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Cimahi, 29 Februari 2016
 Penulis

 
  

BAB 2

PEMBAHASAN

A. USHUL FIQIH

1.Pengertian Ushul Fiqih

            Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
6.      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
7.      Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :           
Artinya:
“islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
8.      Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
9.      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
10.  Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang bisa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqih, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Quran, yakni dalam surat Thaha (20) : 27-28, An Nisa (4) : 78, Hud (11) : 91. Dan terdapat pula dalam hadis, seperti sabda Rasulullah SAW. :
Artinya:
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya.” (H.R Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
            Adapun fiqih secaraterminologi, pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah islamiyah. Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan bagian dari syari’ah islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf)dan diambil dari dalil yang terinci.
            Untuk lebih jelasnya tentang definisi secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu :
Artinya:
“ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah)yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”
Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah:
Artinya:
“Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.”
            Definisi pertama menunjukan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara dreskriptif.
            Keterangan di atas bahwa objek kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandup, makruh, dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut. Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya. Namun, menarik untuk diperhatikan adalah pernyataan Iman Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran (nadzar dan istidlal). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi bersifat daruri, seperti shalat lima waktu itu wajib, zina itu haram, dan sebagainya. Setiap masalah yang qath’I bukan merupakan bahasan fiqih. (Al-Mahalli : 3).
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka disini dikemukakan pengertian Ushul Fiqih yang menjadi pokok bahasan pada bab ini. Para ahli hukum islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam, ada yang menekankan pada fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, dan ada pula yang menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
            Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I : 16) bahwa yang dimaksud dengan Ushul Fiqih itu adalah:
Artinya:
“ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Selain itu, Ibnu Al-Subki (juz I : 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
Artinya:
“Himpunan dalil fiqih secara global.”
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:
Artinya:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.”
            Pendapatan ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
Artinya:
“Pengetahuan tentangkaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
            Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
Artinya:
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hokum-hokum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hokum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.” (Abdul  Wahab Khalaf : 12)
            Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global): bagaimana cara mengistinbath hukum: syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hokum syara’.
            Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dali hukum atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli hukum islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut antara lain menerlibatkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
            Pada masa kini istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariah (ruh hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqiyah seperti yang dilakukan oleh para perumus kompilasi hokum Islam di Indonesia. Dalam merumuskannya, tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang dijadikan suatu kerangka teori.

2. RUANG LINGKUP USHUL FIQIH

1. Pokok Pembahasan ushul fiqh.
          Bertitik tolak dari defenisi ushul fiqh yang disebutkan diatas maka bahasan pokok ushuil fiqh itu adalah tentang;
a). dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
b). hukum-hukum syara yang terkandung dalam dalil itu;
c). kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya.
          Dalam membicarakan sumber hukum, dibicarakan pula kemungknan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukuim syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan denganya. Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekana diri beberapa pokok bahasan tersebut.
2. Objek Kajian Ushul Fiqh
            Dari definisi Ushul Fiqih di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1.         Sumber hukum dengan semua seluk-beluknya.
2.         Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3.         Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
     Berdasarkan kedua definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas, Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqh dari Syiria), menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqh yang membedakan dari kajian fiqh, antara lain adalah :
·         Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’ baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur’an dan sunnah), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan dan mashlahah al-mursalah).
·         Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqaut al-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
·         Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusu keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
·         Pembahasan tentang hukum sayar’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih anatar berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani’, batal / fasad, azimah dan rukhsah.
·         Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash.
3. Tujuan dan Kegunaan Ushul Fiqh
          Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah mu’amalah, ‘uqubah, dan akhlak.oleh sebab itu,para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum allah pada setiap kasus yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
          Secara sistematis para ulama fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh yaitu antara lain untuk:
            Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
a.      Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid , sehinggaa dia dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash; Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan mengamalkannya.
b.      Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan hukumnya.
c.       Memelihara agama dari penyalagunaan dalil yang mungkin terjadi.dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapat pengakuan syara’. Melalui usul fiqh juga para peminat hukum Islam mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang hasrus dipedomani, dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder dan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat islam.
d.      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.      
                                             
4.      Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh
         Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, Ilmu Ushul Fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ushul Fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Yakni mulai tumbuh pada abad kedua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW memberikan fatwa dan keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang di ilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristibath dan berijtihad.Ilmu ushul fikih menurut ulama ahlu sunnah wal jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan melalui beberapa tahapan penting.
a.       Tahapan Tadwin (kodifikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fikih yang dipelopori oleh imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
            Tahapan pertama dimulai pada masa imam asy-Syafi’i dan berakhir kurang lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan Tahapan ini adalah penulisan kaidah ilmu ushul fikih oleh imam asy-Syafi’i dan keadaan serta kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini.
            Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya dua madrasah yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama dengan yang lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di Madinah dengan tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w 179 H) dan kedua adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah para murid Abu Hanifah.
            Madrasah hadits dikenal sangat kental dan dekat dengan riwayat, karena kota Madinah adalah tempat berkumpulnya para sahabat dan tempat turunnya wahyu. Sebaliknya madrasah ar-Ra’yi sangat kental nuansa akalnya karena tidak memiliki sebab-sebab riwayat seperti di Madinah, ditambah lagi banyaknya fitnah dan pemalsuan hadits di sana. Yang perlu diperhatikan bahwa kedua madrasah ini sepakat mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan al-Qur`an dan sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber tersebut.
            Dalam hal ini imam asy-Syafi’i mampu mengkompromikan kedua madrasah ini dan memperoleh keistimewaan yang dimiliki masing-masing madrasah tersebut. Beliau menyatukan fikih imam Malik di Madinah – yang beliau sendiri adalah murid imam Malik – dan fikih Abu Hanifah di Irak, karena beliau berguru langsung kepada imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w 189 H) ditambah dengan fikih ahli Syam dan Mesir karena beliau pun mengambil ilmu dari para ulama pakar fikih di sana. Ditambah lagi dengan Madrasah Makkah yang memiliki perhatian lebih besar dalam tafsir al-Qur`an dan sebab turunnya.  Dimana beliau belajar langsung di Makkah kepada para ulama fikih dan ulama hadits disana hingga mendapatkan kedudukan sebagai mufti. Semua ini didukung dengan kepakaran beliau dalam bahasa Arab yang beliau dapatkan dari pedalaman Arab pada kabilah Hudzail yang termasuk suku terfasih dalam berbahasa Arab. Dengan anugerah besar yang dimiliki inilah –dengan taufiq dari Allah- beliau mampu meletakkan ushul dan kaidah dalam ber-istimbath (pengambilan hukum dari dalil) serta ketentuan berijtihad. Juga beliau mampu menjadikan fikih diambil dari sumber hukum yang jelas dan pasti. Dengan sebab itu beliau membuka pandangan ulama fikih dan memberikan contoh kepada para mujtahid setelah beliau untuk bertindak seperti yang telah beliau lakukan dan menyempurnakan yang ditemui mereka nantinya. Demikianlah imam asy-Syafi’i menulis kitab “Ar-Risaalah” yang menjadi kitab pertama dalam ushul fikih.
b.      Tahapan Ittijaah al-Haditsi (ushul fiqih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam Al-Khothib al-Baghdadi dan Ibnu Abdilbarr.
            Tahapan  kedua berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a.    Imam ahli sunnah di timur Al-Khothib Al-Baghdadi penulis kitab Tarikh Baghdad
b.    Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin Abdilbarr penulis kitab At-Tamhied.
            Al-Khothib al-Baghdadi menulis dalam bidang ushul fikih kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai nasehat kepada ahli hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab Ar-Risaalah karya imam asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti permasalahan jidaal dan pembahasan yang berhubungan dengan adab fikih.
            Sedangkan Ibnu Abdil barr menulis kitab Jaami’ Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang beberapa pertanyaan yaitu:
-    Pengertian ilmu.
-    Pengokohan hujjah dengan ilmu.
-    Penjelasan salahnya orang yang berbicara dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
-    Larangan memvonis tanpa hujjah(dalil)
-    Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci dalam adu hujjah dan debat.
-    Pemikiran akal mana yang dicela dan mana yang dipuji?
Muncul dalam Tahapan ini juga dua kitab yaitu:
-    Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu Zaid ad-Dabuusy. Ibnu Kholdun mengkomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun metodologi versi madzhab Abu Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak sekali karya tulis dan yang terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu Kholdun hal. 361)
-  Kitab Al-Mustashfa karya Al-Ghazali. Kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat al-Manaazhir
Tahapan ini memiliki karakteristik banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi dan atsar shohih dari sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat dilihat dari penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya sebatas pada riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istinbath, fikih, penetapan qiyas dan ijtihad serta lainnya.
c.       Tahapan Ishlah dan pelurusan yang tidak benar dalam ilmu ushul fikih yang dipelopori imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim
Tahapan ketiga yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah. Muncul dalam Tahapan ini dua imam yaitu:
a.    Ibnu Taimiyah
b.    Ibnu al-Qayyim
Marhalah ini memiliki karekteristik yang dibangun diatas dua pokok :
-    Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul sesuai manhaj salaf
-   Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau.
Pada Tahapan ini muncul juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.
5.      Aliran-aliran Ushul Fiqh
          Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum islam.
• Aliran syafi’yyah dan jumhur Mutakallimin (ahli kalam).
          Aliran ini membangun ushul fiqh mereka secara teoritis, menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (Al-qur’an dan sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran) tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok).
          Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Syafi’iyyah/Mutakallalimin ini adalah: Al-Risalah yang disusun oleh imam Al-Syafi’I, kitab al-mu’tamat, disusun oleh abu Al-husain Muhammad Ibn ‘Ali al-bashri, kitab Al-Burhan fi al-ushul al-fiqh,disusun oleh Imam Al-haramainal- juwaini, dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh imam abu hamid al- gazali, yaitu :al-mankhul min ta’liqat al-ushul;syifa’ al-ghalil fi Bayan al-sya’ban wa al-mukhil wa masalik al-ta’lil; dan al-mustashfa’ fi ilm al-ushul.
          Sekalipun kitab ushul fiqh dalam aliran Syafi’iyyah/Mitakallim cukup banyak ,tetapi yang menjadi sumber dan standar dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut diatas.
• Aliran fuqaha’
          Yang dianut oleh ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha’ karna aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka.Dalam menetapkqan teori tersebut,apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.
6.      Keterkaitan Ushul fiqh dan Fiqh
          Fiqh dan Ushul merupakan bahasan terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan sesuatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai kenapa ketentuan itu begitu adanya. Sehingga memasuki lapangan pembahasa ushul fiqh. Demikian pula waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkup bahasan fiqh.

B. 5 (LIMA) QAIDAH INDUK

1.

الامور بمقاصدها  

(Segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya)
            Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantuk pada niatnya. Oleh karena itu, motif dan niat yang terkandung dalam hati sewaktu melakukan satu perbuatan menjadi kriteria yang nenentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.
            Niat dikalangan imam syafi’i diartikan dengan: “Bermaksud melakukan sesuatu deisertai dengan pelaksanaannya”.
قصــد شيء قترنا بفعلـــه و محلها فى القلب
            Begitupun dikalangan mazhan hambali menyatakan bahwa niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud tersebut di dalam hati. Jadi apabila menyakini/beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
            Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunahkan atau hal yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan niat karena Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja.  Misalnya saja seorang duduk-duduk atau tiduran di masjid tanpa ia melakukan niat I’tikaf, maka apa yang dilakukannya di dalam masjid tidak akan mendapat pahala, sedangkan apabila ia berniat I’tikaf terlebih dahulu ia akan mendapatkan pahala I’tikaf.
            Pada asalnya niat dilakukan di awal setiap pekerjaan ibadah, kecuali niat pada awal shaum di bulan Ramadhan yang mendahulukan niat terlebih dahulu, dan apabila niat dilakukan berbarengan dengan shalat fajar, maka itu tidak sah, kecuali boleh melakukan niat apabila pada shaum sunnah.
            Ada beberapa perbedaan mengenai niat, apakah niat itu termasuk rukun ataukah syarat. Namun mayoritas ulama mazhab syafii telah memilih bahwa niat merupakan rukun bukan syarat, karena niat masuk pada juziyyah ibadah.
  1. Dasar Kaidah
Yang menjadi dasar dari kaidah-kaidah ini adalah apa yang difirmankan oleh Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah : 5)
  ومن يرد ثواب الدّنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها وسنجزى الشّكرين
“barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Ali Imron: 145)
Begitupun Hadits Nabi Muhammad Saw.:
 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ  عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang  hijrohnya untuk Alloh dan Rosul Nya maka hijrohnya itu untuk Alloh dan Rosul Nya, dan barangsiapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan mendapatkannya atau hijrohnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrohnya itu tergantung pada apa yang dia hijroh untuknya.” (HR. Bukhori 1, Muslim 1907).
            Imam Ibnu Rojab saat menerangkan hadits Umar diatas berkata:
“Dua kalimat ini adalah dua kalimat yang mencakup semua hal, dan merupakan sebuah kaedah yang universal, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya.”.
            Imam Asy Syathibi :
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat, dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.”.
            Imam Al Khothobi saat menerangkan hadits Umar diatas pun berkata:
“Hadits ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung didalamnya. Maknanya adalah  bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam agama ini tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan mana yang sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.
  1. Fungsi niat
Pertama : Membedakan antara adat  dengan ibadah
Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat. Misalnya :
Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Kedua :Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya
Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam.  Ambil misal tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.
Begitu pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau mungkin puasa kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan salah satunya harus dengan niat. 
Ketiga  : Untuk membedakan kealitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
Keempat  : Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan Ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dan yang sunnah.

2. “Adh-Dhararu Yuzalu” [kesulitan itu harus dihilangkan]

            Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
            Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
a.       Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
b.      Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
c.       Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
d.      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
e.       Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
            Jadi, Dharar disini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
            Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
a.      Dasar-Dasar pengambilan kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
            Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf 7: 56)
Surat al-Qashash ayat 77:
Artinya:Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qashash 28: 77)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang lain".
            Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya.
b.      Uraian Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ           
“ tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.      Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2.      Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya. Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
            Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya.      Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri. “ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
            Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
 Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu  antara lain:
  1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
  2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
  3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
  4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.

3.

ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ

 Kesusahan mendatangkan kemudahan
            Secara bahasa, al-masyaqqat berarti Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan, kepenatan, keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah).
Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :
ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ                                                                                                      ﺩﻭﻥ ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ
Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada didi dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mulkallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.
             Makna kaidah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
            Jadi dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh hambaNya/mukallaf kapan saja dan dimana saja yakni dengan memberikan kelonggaran atau keringanan disaat seseorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.
1.      Dalil atau Dasar Kaidah ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ  ﺘﺟﻟﺏ  ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
            Terdapat dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi ketiga ini. Dasar dasar tersebut berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah.
            Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar kaidah asasi ketiga adalah :
  1. Al-Qur’an.
1). Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185 :
                                                                            ﻴﺮﻴﺪ ﺍﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ
Allah menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan kalian”
2). Al-Qur’an surat  Al-Hajj ayat 78 :
                                                                               ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ
                        “dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan
  1. Al-Hadits.
Sabda Nabi SAW.:
                                                                                    ﺒﻌﺛﺕ ﺒﺎ ﻠﺤﻧﻳﻓﻳﺔ ﺍﻠﺳﻣﺤﺔ ﺍﻠﺳﻬﻠﺔ
(Aku diutus dengan membawa agama yang benar dan mudah).(H.R Ahmad dari Ibnu Abbas)      
                                                                ﺍﻦ ﷲ ﺃﺮﺍﺩ ﺒﻬﺫ ﺍﻻﻣﺔ ﺍﻠﻴﺳﺮ ﻮﻠﻡ ﻴﺮﺩ ﺒﻬﻡ ﺍﻠﻌﺳﺮ
(Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan mereka)
            Dua ayat tersebut disajikan secara seimbang: ayat pertama dan ayat kedua berisi tentang keringanan dan kemudahan; sedangkan dari hadits tersebut masih berkaitan erat dengan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185 dan dengan Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 78, bahwa dari kedua hadits tersebut hadist pertama tersebut diatas berisikan tentang kebenaran Nabi diutus oleh Allah untuk membawa agama yang benar dan mudah, dan dalam hadits Nabi yang ke dua tersebut diatas bahwa Allah menghendaki kemudahan dengan umat Nabi Muhammad SAW dan tidak menghendaki kesulitan.
            Prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas meniscayakan bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hukum-hukumNya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hambaNya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang mukallaf.
  1. Sebab-sebab Adanya Kesulitan.
            Abdurrahman as-Syuyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu :
a. Safar (Bepergian)
            Safar (Pejalanan) panjang adalah keluar mengadakan perjalanan menuju daerah yang berjarak tempuh tiga hari perjalanan atau lebih dengan menggunakan unta atau jalan kaki. Atau diperkirakan sekitar 20 1/3 jam atau 86 km menurut kalangan ulama madhab Hanafi, sementara menurut kalangan ulama madhab Syafi’I jarak tempuhnya diperkirakan 96km. Menurut Imam Nawawi, kesulitan ini menjadikan 8 macam keringanan, yaitu : boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan jumat, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.
b.  Marodl (Sakit)
            Sakit merupakan salah satu alas an hokum (‘udzr syar’i) yang dijadikan sebagai sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran dari subyek hokum (mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang terjadi pada fisik manusia dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh. Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketikanshalat dan khutbah yang semula diwajibkan berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan sholat jum’at, berbuka puasa dengan menbayar fidyah atau menberi makan orang miskin, berobat dengan benda najis, kebolehan melihat auratnya.
c.  Ikrah (Terpaksa atau dipaksa)
            Adapun definisi paksaan (ikrah) menurut terminologi syara’ adalahmenekankan orang lain untuk melakukan sesuatu yang dibencinya dan tidak ingin dilakukannya seandainya tidak ditekan. Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.
d. Nisyam (Lupa)
Lupa adalah ketidakmapuan menhadirkan(mengingat)sesuatu saat dibutuhkan.
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.
e. Jahl (Bodoh)
            Secara terminologi kalangan ahli hokum syar’i mendefinisikan al-jahl adalah ketidak pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i baik secara keseluruhan maupum sebagiannya. Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak dikenai sanksi.
            Perbedaan antara ketidak tahuan (jahl) dan Lupa (Nisyan) jika lupa termasuk perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri manusia sehingga tidak kuasa ditolaknya. Sedangkan kebodohan atau ketidaktahuan dapat dihindari manusia dengan jalan pembelajaran.
f. Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Al-Usr (kesulitan) adalah kesusahan kesukaran. Kesulitan identic dengan kefakiran, sehingga laki-laki yang sulit berarti laki-laki yang rendah tingkat toleransinya dalam segala sesuatu.
Adapun ‘umum al-balwa (bencana umum) adalah bencana yang menimpa kebanyakan orang sehingga sulit dihindari dan dijauhi.
Misalnya: laki-laki diperbolehkan mengenakan sutera karena penyakit gatal dan di tebngah-tengah peperangan untuk nggetarkan hati musuh dan tidak diwajibkannya qadha’, mengganti shalat wajib bagi wanita haid karena kesulitan pengulangan (masyaqqah tikrar), tidak seperti puasa.
g. Naqsh (Kekurangan)
Kekurangan alamiah adalah salah satu alasan hukum yang sah (‘udzur) yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’i.
Terkait dengan wanita, syara’ telah banyak memangkas beban kewajiban dari pundak mereka dibandingkan beban kewajiban yang dipikul kaum laki-laki, misalnya kewajiban shalat jamaah dan Jum’at, ikut ikut dalam barisan jihad, dibebaskan untuk membayar jizyah, dan sebagainya. Kaum wanita juga diperbolehkan memakai kain sutera, memakai perhiasan emas, dan tidak mengganti (qadha’) shalat fardhu yang ditinggalkannya selama masa haid atau nifas (pasca persalinan) demi menghilangkan kesulitan dan menepis kesukaran yang berurang ulang (masyaqqah tikrar) akibat adanya halangan yang bersifatperiodik dan terus menerus. Ketentuan tersebut berbeda denagn puasa yang tetap diwajibkan untuk mereka mengganti di lain hari karena tidak ada halangan dan kesulitan dalam menggantinya.

4.        

 اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang dengan Keraguan”.
1.      Pengertian
 اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam
            Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
a)       اليَقِيْنُ : Keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
b)        الظَنُّ : persangkaan kuat Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
c)       الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
d)       الوَهْمُ : Persangkaan lemah Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
e)       الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
f)        الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.” (Lihat Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169).
2.      DALIL
Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم, diantaranya:
Firman Allah Ta’ala:
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
Hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata : Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”  (HR. Muslim : 362)
Imam Nawawi رحمه الله berkata:
“Hadits ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.” (Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu kepada Rosululloh صلى الله عليه وسلم bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda: “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
 Imam Al Khothobi رحمه الله berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.” (Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه berkata : Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim : 571)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf رضي الله عنه berkata : “Saya mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما berkata: “Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar رحمه الله dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”
3. CONTOH 
a)       Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya masih diragukan.
b)       Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudlu.
c)       Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
d)       Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
e)       Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
f)        Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
g)       Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
h)       Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.

5.

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ  

“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Al-‘aadah muhkamah secara bahasa al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah ( المعاودة) yang artinya berulang (التاكر ار).
Ibnu nuzaim mendifinisikan al-‘aadah dengan
عبارة عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند الطباع الساليمة
“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri,perkara yang berulang-ulang yang biasa diterima oleh tabi’at(perangai)yang sehat.”
Menurut al-Jurjani:
العادة ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى
“Al-‘aadah ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.
            Para ulama mengartikan  al-‘aadah dalam pengertian yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan:
العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار ذالك مطردا غالبا
‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”
Menurut abdul wahab khalaf:
العرف هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة وفى لسان الشرعيين لافرق بين العرف والعادة
“al-‘urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari:perkataan,perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.hal ini dinamakan pula dengan al-‘aadah.dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘aadah.
            Dari memperhatikan ta’rif-ta’rif diatas, dan juga ta’rif  yang diberikan oleh ulama-ulama, dapat di fahami bahwa al-‘urf dan al-‘aadah adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang di kerjakan oleh manusia,sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabi’at yang sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’.
            Akan tetapi tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah dengan al-‘urf hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi,saling menipu ,dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Diantara perbuatan yang hukumnya oleh rosulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadist:
قدالنبي صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين فقال: من سلف في شمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه البجارى عن ابن عباس
“ketika nabi SAW datang dimadinah,mereka (penduduk madinah) telah biasa member uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun.”
“maka nabi bersabda:barang siapa yang memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu.”
            Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’ yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى العرف
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”
Seperti yang berlaku dalam jual beli, yaitu al-ihya’, menghidupkan tanah yang mati dan at-ta’rif  ,pengumuman tentang barang yang ditemukan, dan lain-lainnya.
            Hal itu perlu adanya pemahaman dan pelaksanaannya juga dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku dimana kesemuanya itu terjadi.
4. Dasar Hukum
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
5. Macam-Macam Kaidah
a.              
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
b.       
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
            Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hokum.
Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
c.        
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ 
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
            Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
d.       
المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
            Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat. Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
e.        
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
f.        
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
g.       
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
h.       
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik. 
i.         
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.

C. SUMBER HUKUM ISLAM

1. ALQURAN

A. Pengertian
            Menurut sbagian besar ulama, kata Al-Quran berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bias dimasukan pada wajan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru’, seperti terdapat dalam surat Al-Qiyanah (75): 17-18:
ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه ( القيمة : 17-18 )
“sesungguhnya atas tanggungan Kami-Lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.
(QS.Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun  difinisi alqur’an secara istilah menurut sebagian ulama ushul fiqih adalah:
كلام الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
 “Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
            Dari definisi tersebut, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al Qur’an, sebagai berikut : (Asy-Syaukani : 26-27)
1)      Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. Dengan demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat disebut Al-Qur’an.
2)      Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab Qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an tidak dinamakan Alqur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’ hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3)      Al-Quran dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4)      Membaca setiap kata dalam Alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf Alquran.
5)      Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan digamti letaknya. Dengan demikian doa-doa, yang biasanya ditambahkan di akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
B. Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan ulama Imam Madzhab
1)      Pandangan Imam Abu Hanifah
            Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2)      Pandangan Imam Malik
            Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam, dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu,”.
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
3)      Pendapat Imam Syafi’i
            Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali, Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT.
            Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4)      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
            Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
a)      Sesungguhnya zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
b)      Rosulullah saw. Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
c)      Jika tidak di temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an .dan mereka pula yang lebih mengetahui  as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
            Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan, kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)
c.       Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
            Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut (kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya, yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا ت
Dan menambah kata dzi ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواخت من الام
Namun, perlu di tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
      Adapun di tinjau dari segi Dilalah­-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi dalam dua bagian;
1)      Nash yang Qath’i dilalah-nya
            Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging babi,hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu,  dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
2)      Nash yang Zhanni dilalah-nya
            Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya.        Para ulama, slain berbeda pendapat tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
             Imam Asy-syatibi menegaskan behwa wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yg qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil yg zhanni menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).

2. SUNNAH

A. Pengertian
            Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Sedangkan As-Sunnah menurut syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah. Pengertian sunnah juga dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu:
·         Ilmu Hadits
·         Ilmu Ushul Fiqih
·         Ilmu Fiqih
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:
Artinya:
"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:
Artinya:                                                                                                                            
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan." 
B. Kekuatan sebagai Hujjah
            Umat islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan, dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam. Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas perbuatan orang-orang mukallaf.
Adapun bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:
1). Nash-nash Al-Quran. Karena Allah SWT, sering kali dalam ayat-ayat Al-Quran memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
2). Kesepakatan para Sahabat ra, baik sesama hidup maupun sepeninggalan Rasulullah Saw. Akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup nabi, para sahabat telah melaksanakan hukum, menjalankan perintah dan (menjauhi) larangan nabi Saw; halal dan haram.
3). Allah Swt, dalam Al-Quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
C. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
            Hubungan As-Sunnah kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring Al-Quran. Adapun hubungannya kepada Al-Quran dari segi hukum yang dibawanya, tidak lebih dari salah satu di antara tiga hal berikut:
·         As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa Al-Quran.
·         As-Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa Al-Quran
·         As-Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran.
D. Dilalah Sunnah
            Ditinjau dari segi petunjuknya, hadits sama dengan Al-Quran, yaitu bisa qath’iah dilalah dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda. Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran. Dalam kajian ushul fiqih, hadits dari segi sanadnya terbagi menjadi dua macam: hadits mutawatir dan hadits ahad.

3. IJMA’

A. Pengertian Ijma’
Secara etimalogi, ijma’ terbagi kepada dua pegertian, yaitu :
1). Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
“Suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
Artinya :
 “ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
2). Ijma berarti tekad atau niat yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat Yunus ayat 71:
Artinya:
“Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
 “ Tidak sah puasa seseorang yang tidak membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
            Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya:
a.       Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b.      Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
B. Syarat dan Rukun Ijma’
Syarat terbentuknya ijma’ yaitu sebagai berikut :
1). Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal ini berdasarkan pendapat AL-Wadih dalam kitabIsbath, bahwa mujtahid yang diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal aqdi.
Pendapat-pendapat tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
2). Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golonan Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
3). Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut :
a.       Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d.      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.
C. Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1). Ijma’ Sharih
            Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2). Ijma’ Sukuti
            Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a.       Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b.      Keadaan diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c.       Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.
d. Maksud Ijma’ dalam Kitab-Kitab Fiqih
            Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’. Dengan demikian, apabila jumhur ulama menetapkan kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak termasuk ketetapan hukum dan tidak dikatakan ijma’.
            Menurut orang-orang yang selalu mengikuti beberapa permasalahan, hasil ijma’ itu di adakalanya bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid, tetapi ada juga yang berasal dari kesepakatan imam madzhab. Maka tidaklah sah untuk menggantungkan diri kepada kitab-kitab fiqih yang didalamnya terdapat kata ijma’, karena ijma’ tersebut mungkin saja hanya kesepakatan para ulama yang ada pada suatu madzhab yang ditulis oleh pengarang kitab.

4. QIYAS

1. Pengertian
            Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istimbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini:
1). Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakni pandangan mujtahid.
2). Golongan kedua qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh paramujtahid ataupun tidak.
B. Rukun Qiyas
a). Ashl (pokok),
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan.
b). Far’u (cabang),
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
c). Hukum Ashl,
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d). Illat
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
            Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil al-Quran, Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional. Alasan ulama yang menetapkan qiyas:
a.       Diantara ayat-ayat al-quran yang digunakan sebagai dalil.
b.      Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil
c.       Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa qiyas adalah hukum syara’.
C. Qiyas sebagai sandaran Ijma’
            Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’ diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas  itu tidak sah dijadikan  dasar ijma’ dengan demikian bahwa Ijma itu qath’I, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni, menurut kaidah, yang qath’, itu tidak sah didasarkan pada yang  zhunni
            Pada ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’ beragumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama, juga dikarenakan qiyasitu termasuk salah satu dalil syara’ maka sah dijadikan sandaran ijma’
D. Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum
            Masalah ini termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan qiyas, dan tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan qiyas. Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan semua pada hukum.

D. METODE IJTIHAD           

1. IJTIHAD

a. Pengertian Ijtihad
            Dari segi bahasa, Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah
عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat
            Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
B. Dasar Hukum Ijtihad
            Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya yaitu :
1) Firman Allah SWT
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ {النساء : 105}
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu
2) Adanya keterangan sunnah, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فاجَّتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَافِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجَّتَهَدَ ثُمَّ أَخَّطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ
Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala
C. Macam-macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1) Ijtihad al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan dalil syara’
2) Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’
D. Syarat-syarat Ijtihad
1). Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik menurut bahasa maupun syariah
2). Menguasai dan mengetahui hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat
3). Mengetahui naskah dan mansukh dari al-Qur’an
4). Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentang dengan ijma’
5). Mengetahui Qiyas dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
6). Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta problematikanya
7). Mengetahui ushul fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
8). Mengetahui maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia disyariatkannya suatu hukum.
E. Objek Ijtihad
Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.
1). Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain.
2). Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
F. Hukum Melakukan Ijtihad
1). Fardhu ain : bila ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga dihukumi fardhu ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
2). Fardhu kifayah : jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid
3). Sunnah : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4). Haram : apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth’i, sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’.
G. Tingkatan Mujtahid
1). Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2). Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam.
3). Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya
4). Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5). Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

2. ISTIHSAN 

a. Pengertian

            Secara etimologi (lughawi/bahasa) istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu” (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005) Atau menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).
            Dari arti lughowi diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi kedua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan atau diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkannya.
            Tidak tedapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam mempergunakan lafal istihan banyak dijumpai  dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Misalnya, dalam surat al-Zumar, 39: 18 Allah berfirman,
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ
“orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya...”
Kemudian dalam sebuah riwayat dari Abdullah ibn Mas’ud Rosulullah saw bersabda:
 مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
            Adapun pengertian isthisan  secara istilah ada beberapa defiisi “istihsan” yang dirumuskan ulama Ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya. Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni memnghitung-hitung sesuatu dan mengangapnya kebaikan (Kamus Lisan Arab dalam Drs. H. Nasroen Haroen, M. A ).
B. Kehujjahan Istihsan
            Terdapat pebedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sabagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah, istihsan merupakan dalil yan kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah:
a)      Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempatan dari umat manusia , yaitu firman Allah dalam surat al Baqarah, 2: 185, yang berbunyi,
....Allah mengendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu.....
Dalam surat az Zumar, 39:55, Allah berfirman:
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu...
b)      Rosulullah dalam riwayatnya Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
مَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
c)      Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yan terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum dengan sesuai kaidah umum dari qiyasadakalanya membawa kesusahan bagi umat manusia, sdangkan syari’ar islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia,
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Ulama  Syafi’iyyah, Zhahiriyyah. Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsansebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2015).
Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah :
1)      Hukum-hukum syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau Sunnah) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pulaqiyas.
2)      Sejumlah ayat telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4:59
Istihsan, menurut Imam al-Syafi’i tidak termasuk dalam al-Quran atau Sunnah.
a)      Istihsan adalah upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja .
b)      Rasulullah saw. Tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
c)   Rasulullah saw. telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
d)     Istihsan tidak mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
C.    Pengaruh Istihsan dalam Masalah Fiqh
            Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh istihsan dalam masalah Fiqih :
1)      Lelaki yang Menghadapi Perempuan dalam Shalat
Beberapa pendapat , mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjama’ah berada tepat pada barisan laki-laki atau laki-laki yang melaksanakan shalat berjama’ah tepat berada pada barisan perempuan. (Drs. H. Nasroen Haroen, M. A)
a.       Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya.
            Apabila dihadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya sama-sama dalam satu shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad atau niat menjadikannya (perempuan) sebagai imam. Alasannya karena berdasarkan perintah dai Rosulullah untuk mendahulukan laki-laki dan mengakhirkan perempuan dalam shalatnya, karena apabila laki-laki diakhirkan atau shalatnya menghadap kepada perempuan maka ia dianggap tertinggal shalat fardhu dan shalatnya pun menjadi rusak . perintah yang dimaksud adalah sabda rosulullah SAW yang berbunyi:”Akhirkanlah mereka perempuan seperti halnya Allah mengakhirkannya”.
b.      Imam yang bertiga ( Malik,Asy-Syafi’I dan Ahmad),
            Dalam kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (dibelakang) laki-laki adalah makruh. Hal ini beralasan karena, mereka menganalogikkan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi diluar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut ijma’. Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan oleh Rosulullah SAW, yaitu ketika Rosulullah sedang shalat sementara ‘Aisyah tertidur dihadapannya.
c.       Dalam Kitab Al-Umm dan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughmi
          Imam Syafi’i, menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum kepada seorang laki-laki dan kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut berdiri dibelakang imam, dan laki-laki berada dibelakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri disamping imam, kemudian laki-laki itu bermakmum kepadanya dan ia berada di samping perempuan tersebut maka shalat bagi perempuan, laki-laki, dan imam tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu diantara mereka tidak rusak.
Alasannya ketika Rosulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang ‘Aisyah berbaring antara beliau dan arah kiblat seperti berbaringnya jenazah.
2)      Zakat Seluruh Harta tanpa Niat
            Para ulama sepakat bahwa tidak diperboleh kan melaksanakan zakat tanpa dibarengi dengan niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakati. Akan, tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapakah diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat.( Drs. H. Nasroen Haroen, M. A).
a. Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Jika seorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat tersebut tidak gugur.
            Alasannya karena orang tersebut belum berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu ketika seorang melakukan shalat seperti apa yang ia kehendaki dan ia tidak berniat shalat fardu atas shalatnya itu maka, shalatnya itu tidaklah gugur sebelum ia melakukan shalat dengan niat shalat fardhu.
b. Ibnu Qudammah, mengatakan walaupun hukum seorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia tidak berniat zakat maka ia tetap tidak mendapatkan pahala. Hal tersebut sama halnya dengan apabila seseorang melakukan shalat 100 reka’at tanpa menentukan niat bahwa shalat itu adalah shalat fardhu atau sunnah.
c. Abu Hanifah dan rekan-rekannya, berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur.
            Alasan mengenai gugurnya kewajiban itu adalah Istihsan. Hal ini berdasarkan qiyas, kewajiban tersebut tidak gugur, karena sunah dan fardu keduanya merupakan syari’at. Oleh karena itu, harus ditentukan sama seperti shalat.

3. MASLAHAH MURSALAH

A.    Pengertian
1)      Pengertin secara Bahasa
            Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua suku kata yaitu maslahah dan mursalah. Al maslahah adalah bentuk mufrad dari al mashalih.
            Maslahah berasal dari kata حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. adalah  mashdar  dengan  arti  kata  shalāh  yaitu  “manfaat”  atau  “terlepas  dari padanya kerusakan.”
            Kata  maslahah  inipun  telah  menjadi  bahasa  Indonesia  yang  berarti “Sesuatu yang mendatangkan kebaikan“. Adapun pengertian maslahah dalam bahasa  Arab  berarti  “perbuatan-perbuatan  yang  mendorong  kepada  kebaikan manusia. Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,  baik  dalam  arti  menarik  atau  menghasilkan  seperti  menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. : 
            Sedangkan kata al-Mursalah  adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسل dengan penambahan “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi   ا رسل, yang berarti “terlepas” atau “bebas” (dari kata muthlaqah).
Bila kata “maslahah” digabungkan dengan “mursalah”, maka secara bahasa berarti “kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan”.
2)      Pengertian secara istilah
            Maslahah mursalah menurut Imam Malik sebagaimana hasil analisis Al-Syatibi, adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun hajjiyat (sekunder).
            Menurut Abu Nur Zuhair, Maslahah Mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara.
            Menurut Abu Zahrah, maslahah mursalah adalah maslahah yang sesuai dengan maksud maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya.
            Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara  yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara, tapi ia tidak keluar dari nash syara.
            Muhammad Muslehuddin mengartikan maslahah mursalah adalah kepentingan bersama yang tidak terbatas, atau kepentingan yang tidak ada ketentuannya. hal ini berangkat dari teori Imam Malik bahwa konsep syari’ah itu ada untuk kepentingan bersama, maka sesuatu yang memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan bersama adalah merupakan salah satu sumber syariah. Sumber baru inilah yang dinamakan al maslahah al mursalah.
            Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang maslahah mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
            Hal yang membedakan antara Qiyas dan Maslahah mursalah adalah Qiyas berangkat dari illat (alasan utama suatu nash) sedangkan maslahah mursalah berangkat dari hikmah. Hikmah adalah perbuatan yang arif yang mempunyai manfaat syari’ah secara sosial.  Abdul Wahab Khallaf memberi contoh simpel yang berkaitan dengan keringanan mengqadla shaum ramadhan pada bulan lain jika shafar atau sakit. Kondisi Shafar dan sakit adalah illat sedangkan keringanan dari sebuah kesulitan adalah hikmah.
Maslahah mursalah dalam beberapa literatur ada yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah dan “al-isti’dal al-mursal”.
Coba perhatikan kemaslahatan yang berhubungan dengan pembuatan akte nikah,
1. Sah tidaknya sebuah ikatan perkawinan adalah dengan ditetapkan atau dikeluarkannya akta nikah. Proses ini disebut al-Istishlah (menggali dan menetapkan maslahah) istilah ini digunakan al Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa, sedangkang al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyebutnya dengan istilah al-isti’dal al-mursal.
2. Akte Nikah mengandung tujuan menjaga status keturunan, tetapi sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Maka hal ini disebut al manasib al mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dari dalil syara’ yang khusus). Istilah ini yang digunakan oleh Ibnu Hajib dan Qadhi al-Baidhawi.
3. Akte nikah pada masa sekarang sangat penting dimiliki karena mengandung berbagai kemaslahatan, tetapi kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah. maka dari sisi ini bisa disebut al maslahah al mursalah (maslahah yang terlepas dari dari dalil khusus, tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam).
B. SYARAT-SYARAT MASLAHAH MURSALAH
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu, :
1). Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini  berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2). Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3). Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
 “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
Dan al-Baqarah ayat 185,
 Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
            Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahah mursalah) terserabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yangdipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahah Mursalah.
C. LAPANGAN (OBJEK) MASLAHAH MURSALAH
            Lapangan  atau  ruang  lingkup  penerapan  maslahah  mursalah  selain yang berlandaskan pada hukum syara secara umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya, dengan kata lain maslahah mursalah hanya meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan muamalah.
            Sedangkan masalah ibadah bukanlah termasuk dalam lapangan tersebut. Alasannya karena maslahah mursalah didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
            Segala bentuk perbuatan ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya mengikuti secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash, dan akan sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
            Diluar  wilayah  ibadah,  meskipun  diantaranya  ada  yang  tidak  dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan buruknya oleh akal. Umpamanya minum khamr itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.
D. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH
Contoh-contoh penerapan atau penggunaan maslahah mursalah antara lain:
1). Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai   khalifah   pertama   pengganti   nabi   untuk   memimpin   umat   dalam meneruskan tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang  khalifah  sangat  dibutuhkan  pada  saat  itu,  dan  ini  merupakan  suatu maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).
2). Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atan kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.
3). Produk-produk  hukum  para Ulama saat ini, maka akan didapatkan bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa Majelis Ulama  Indonesia,  misalnya,  fatwa  tentang  keharusan  “sertifikat  halal”  bagi produk  makanan,  minuman  dan  kosmetik.  Majelis  Ulama  Indonesia  melalui lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya melakukan penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks nash yang menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam   melindungi umat Islam dari makanan minuman, obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak lagi hal yang lainnya.
4). Begitu pula dengan hal bunga bank, tidak disebutkan hukumnya dalam al Quran dan al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut mereka unsur tambahan yang menjadi illat haramnya riba juga terdapat pada bunga bank.
            Dalam kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah menjadi   bagian   dari   kehidupan   masyarakat   modern   yang   tidak   mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan yang ada sekarang ini dapat menjadi sarana tolong-menolong    sesama  umat  manusia  karena  hampir  semua  masyarakat modern  saat  ini  berkepentingan  dengan  bank,  baik  untuk  menjadi  meminjam uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang, bahkan  untuk    mengirimkan    bantuan    berupa    uang    untuk  korban-korban bencana  alam  yang  akhir-akhir  ini  sering  menimpa  negara  kita.  Dan  hampir semua  orang  telah  merasakan  manfaat dalam berhubungan dengan  bank.
            Mereka  yang  meminjam  uang  merasa  mendapatkan  kemudahan  dari  bank demikian juga mereka yang mempunyai uang, dapat menabung di bank dan mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan tentu saja, rasa aman.
Kalaupun ada sebagian umat yang merasa kurang nyaman dengan bank konvensional dengan bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu bank syariah yang  saat  ini  mulai  menjamur  dan  menjadikan  bagi  hasil  sebagai  pengganti bunga,   dengan   segala   fasilitas   yang   tidak   kalah   lengkap   dengan   bank konvensional.
            Dalam keadaan demikian, fuqaha meninggalkan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah mursalah. Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum malahan menjadi sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai dengan maqashid syariah ammah.
5). Kesaksian anak-anak yang belum baligh atas dasar kemaslahatan dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada ketetapan syara’. Syariat hanya mengisyaratkan bahwa kesaksian hanya sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian orang dewasa, maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan.
6). Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan “untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan” [8][24] . Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan keluarga dan rumahtangga [9][25]. Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat islam menikah pada usia tertentu.
7). Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya demi tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia [10][26]. Dalam sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada pelarangan monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak disebutkan kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh negara/pemerintah [11][27].
            Bila  diperhatikan  produk-produk  hukum  yang  dihasilkan  oleh  para sahabat,para ulama dan pemerintah Indonesia semuanya adalah merupakan hasil ijtihad dengan pertimbangan maslahah mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
E. PRO KONTRA dan PENDAPAT ULAMA TERHADAP MASLAHAH MURSALAH
            Para ulama yang pro terhadap maslahah mursalah diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi dengan argumen sebagai berikut :[12][28]
1). Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2). Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn Affan.
3). Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
4). Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
            Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada hakekatnya, keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.
            Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad. Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi permasalahan yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja. Sebaliknya jika ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an dan Sunnah, maka artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna atau tidak lengkap. Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah memberikan argumentasi sebagai berikut :
1). Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2). Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
3). Penggunaan maslahah dalam berijtiha[13]d tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4). Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.

4. AL-ISTISHHAB

a. Pengertian
Asyaukani menta’rifkan istishhab yaitu : “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”.
Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada  Dalil lain dan merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian keadaanya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Contoh tentang Istishhab adalah sebagai beikut :
1). Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya  bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli , warisan, hibbah, atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yag menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
2). Orang yang hilang tetap dianggap hidup sehingga ada buku atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
3). Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa dia mennggal dunia.
Istishhab menurut harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
b. Pendapat ‘Ulama tentang Istishhab
‘Ulama Hanafiah menetapkan bahwa Istishhab merupakan Hujjah untuk menetapakan apa-apa yang di maksud oleh mereka. Jadi Istishhab merupakan ketetapan sesuatu yang  telah ada semula dan juga mempertahan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
c  Kehujjahan Istishhab
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalilsyara’ yang menjelaskan, antara lain:
a). Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam) Istishhab tidak dapat di jadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang, harus berdasarkan dalil.
b). Menurut mayoritas ‘Ulama hanafiyah, khususnya muta’akhirin istishhab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidakbisa menetapkan hukum yang akan ada.
C). ‘Ulama malikiyyah, syafi’iyah, hanabilah, zahriyyah dan syi’ah berpendapat bahwa istishhab bisa dijadikan hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum yang telah adaselama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya mereka adalah bahwa sesuatu yang tlahditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’i maupun zhanni, maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya.

5. URF

a. Pengertian Urf
            Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, urf ini sering disebut sebagai adat.
            Pengertian diatas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafadzh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
            Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka ‘urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahid secara khusus.
            Urf merupakan sau sumber yang diambil oleh madzhab Hanafy dan Maliky, yang berada di luar lingkup nash. Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah masyarakat.
b. Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf dalam tiga macam :
1). Dari segi objeknya urf dibagi dalam: al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perrbuatan).
a. Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,ungkapan daging yang berarti dagig sapi: padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabia seseorang mendatangi penjual daging, yang menjual bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu kilogram “ pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperpadatan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjual, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti kulkas dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2). Dari segi cakupannya urf terbagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus).
a. Al-urf al’am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri, dan biaya tambahan.
b. Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan.
3). Dari segi keafsahannya dari pandang syara’ urf tebagi dua: al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b. Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjam uang antar sesama pedagang.
c. Hukum Urf
            Adapun ‘urf yang shahih, maka ia wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Sesorang mujtahid haruslah memperlihatkan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal ini telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara’ , maka wajib diperhatikan. Syari’ telah memelihara terhadap tradisi bangsa Arab dalam pembentukan hukumnya. Misalnya, kewajiban diyat (denda) atas calon keluarganya (‘aqilah : keluarga kerabatnya dari puihak ayah, atau ‘ashabahnya), kriteria kafaah (kesetarafan) dalam perkawinan, dan pengakuan ke’ashabahan dalam kewajiban dan pembagian harat warisan. Oleh karena itulah maka ulama berkata : “adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”.
            Urf mendapat pangkuan didalam syara’. Imam banyak mendasarkan hukumnya atas amal perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum berdasarkan perbedaan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika turun ke Mesir, maka ia merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika ia berada di Baghadad, karena perubahan ‘urf. Karena ini pulalah, maka ia mempunyai dua mazhab, yaitu :
  1. Mazhab lama, dan
  2. Mazhab baru
            Demikian pula didalam fiqh mazhab Hanafiyah terdapat sejumlah hukum yang didasarkan atas ‘urf. Diantaranya ialah : apabila dua orang yang saling dakwa-mendakwa berbeda pendapat dan tidak ada bukti pada salah seorang dari mereka, maka perkataan orang yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh ‘urf.
Apabila suami istri tidak sepakat atas muhar yang harus didahulukan dan mahar yang diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang diputuskan adalah kebiasaan.
Barang siapa yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya, atas dasar kebiasaan (‘urf).
Benda yang dapat dipindah-pindahkan sah untuk diwakafkan apabila ‘urf tentang hal itu berlaku. Persyaratan dalam perjanjian adalah sah apabila ada pengakuan oleh syara’, atau dikehendaki oleh perjanjian itu sendiri, atau diberlakukan oleh ‘urf.
Almarhum al-‘allamah Ibnu ‘Abidin telah menyusun sebuah risalah yang ia namakan :
(penyebaran ‘urf dalam hukum yang didasarkan atas ‘urf)
Diantara ungkapan yang terkenal ialah : “Sesuatu yang dikenal sebagai adat kebiasaan adalah seperti sesuatu yang dipersyaratkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang tetap berdasarkan nash”.
            Adapun ‘urf yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka ia tidak wajib diperhatikan, karena memperhatikannya berarti bertentangan dengan dalil syar’i, atau membatalkan hukum syar’i. Maka, apabila manusia telah terbiasa mengadakan suatu perjanjian yang termasuk diantara perjanjian yang fasid, seperti perjanjian yang bersifat riba atau perjanjian yang mengandung penipuan atau bahaya, maka ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh terhadap pembolehan perjanjian tersebut. Oleh karena inilah, maka dalam undang-undang yang dibuat, ‘urf yang bertentangan dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. ‘urf hanyalah dilihat dalam perjanjian seprti ini dalam segi lain, yaitu : “sesungguhnya perjanjian itu apakah termasuk kondisi darurat manusia atau termasuk dari kebutuhan mereka, dimana apabila akad itu dibatalkan, maka struktur kehidupan mereka akan rusak, atau mereka akan memperoleh keberatan dan kesempita ataukah tidak?” jiaka akad tersebut termasuk kondisi darurat mereka atau kebutuhan mereka, maka ia diperbolehkan. Karena sesungguhnya darurat memperbolehkan hal-hal yang terlarang. Sedangkan kebutuhan ditempatkan pada tempat darurat pada masalah ini. Akan tetapi jika ia tidak termasuk kondisi darurat mereka dan tidak pula termasuk kebutuhan mereka, maka ia diputuskan kebatalannya, dan tidak diakui adanya ‘urf itu.
d. Kehujjahan Urf
Mengenai kehujjahan ‘urf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka.
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ‘urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum.
Alasan mereka ialah firman Allah SWT  yang artinya:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.( QS.Al A’raf: 199 ).
Ayat ini bermaksud bahwa ‘urf ialah kebiasaan manusia, dan apa-apa yang mereka sering lakukan ( yang baik ).
2. Golongan Syafi’iyah dan Hambaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf itu sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.
Para uluma juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al Qur’an di turunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.

6. Syar’u Man Qablana

A. Pengertian
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
ياَاَيُّهَا الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ                                                   
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
                                                                                   
B. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[2]
                                                                
1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
 “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:    
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).

7. Madhab Sahaby

A . Madhab Shahaby
            Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat  Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. dan telah memahami Al-Quran serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka ada yang mengklasifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul, sehingga fatwa –fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.
B. Kehujjahan Mazhab Sahabat
            Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW. seperti uacapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
            Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunah meskipun pada dzahirnya merupakan ucapan sahabat.
            Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qathi’. Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak mengetahui adanya perselisihan dari umat islam.
            Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya”.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa dari dosa).
Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang sepakati oleh para ulama’ dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.

KESIMPULAN

1.      Dalil, yakni landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2.      Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :           
Artinya:
“islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.      Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4.      Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5.      Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)

DAFTAR PUSTAKA

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,  Bandung: Pustaka Setia, 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perkembangan Bahasa Indonesia

Islam Agama Yang Sempurna