Makalah Ushul Fiqh
USUL FIQIH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen: Husni Rofiq, S.Ag.
Oleh:
Setio Aji Nugroho PAI/ I 015.011.0015
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM SILIWANGI BANDUNG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat
dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih
sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata,
yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing
memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah,
ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1.
Dalil, yakni
landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari
wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2.
Qa’idah, yaitu
dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :
Artinya:
“islam
itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.
Rajih, yaitu
yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang
terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
4.
Mustashhab,
yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil
yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus
dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
5.
Far’u (cabang),
seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak
adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi wabarakatuh, segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas
berkat rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelsaikan tugas ini
dengan baik. Tak lupa penulis ucapkan shalawat dan salam mudah-mudahan
senantiasa Allah SWT karuniakan kepada Nabi paling mulia yaitu Nabi Muhammad
SAW, serta para keluarga dan sahabat – sahabatnya sepanjang masa, serta para
pengikut setia beliau hingga akhir zaman. Penulis bersyukur kpada Illahi Rabbi yang
telah memberikan taufik serta hidayah-NYA kepada penulis sehingga makalah Ushul
Fiqh dapat terselesaikan.
Semoga makalah yang
sederhana ini bisa dengan mudah dimengerti dan dapat dipahami maknanya. penulis
meminta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan makalah ini, serta bila
ada kalimat yang kurang berkenan untuk dibaca. Akhirnya kritik dan saran yang
bersifat membangun penulis harapkan dari semua pihak demi sempurnanya makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Cimahi, 29 Februari 2016
Penulis
BAB 2
PEMBAHASAN
A. USHUL FIQIH
1.Pengertian Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat
dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih
sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata,
yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing
memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah,
ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
6.
Dalil, yakni
landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari
wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
7.
Qa’idah, yaitu
dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :
Artinya:
“islam
itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
8.
Rajih, yaitu yang
terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang
terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
9.
Mustashhab,
yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil
yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus
dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
10.
Far’u (cabang),
seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak
adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)
Dari
kelima pengertian ashl di atas, yang bisa digunakan adalah dalil, yakni
dalil-dalil fiqih.
Adapun
fiqih, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan
pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Quran,
yakni dalam surat Thaha (20) : 27-28, An Nisa (4) : 78, Hud (11) : 91. Dan
terdapat pula dalam hadis, seperti sabda Rasulullah SAW. :
Artinya:
“Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi seseorang, Dia akan memberikan pemahaman agama (yang
mendalam) kepadanya.” (H.R Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah).
Adapun fiqih secaraterminologi, pada mulanya diartikan
sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa
akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan
pengertian syari’ah islamiyah. Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan
bagian dari syari’ah islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf)dan diambil dari dalil yang terinci.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi
secara terminologi dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu
:
Artinya:
“ilmu tentang hukum
syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah)yang diperoleh melalui dalil-dalilnya
yang terperinci.”
Sementara itu, ulama
lain mengemukakan bahwa fiqih adalah:
Artinya:
“Himpunan hukum syara’
tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci.”
Definisi pertama menunjukan bahwa
fiqih dipandang sebagai ilmu yang berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan
definisi kedua menunjukan fiqih dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena
adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. Ketika
fiqih didefinisikan sebagai ilmu, diungkapkan secara deskriptif. Manakala
didefinisikan sebagai hukum dinyatakan secara dreskriptif.
Keterangan di atas bahwa objek
kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandup,
makruh, dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih
adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya. Namun, menarik untuk
diperhatikan adalah pernyataan Iman Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan bahwa
fiqih adalah pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran (nadzar dan istidlal). Pengetahuan
hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi bersifat daruri, seperti
shalat lima waktu itu wajib, zina itu haram, dan sebagainya. Setiap masalah
yang qath’I bukan merupakan bahasan fiqih. (Al-Mahalli : 3).
Setelah dijelaskan
pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka disini
dikemukakan pengertian Ushul Fiqih yang menjadi pokok bahasan pada bab ini.
Para ahli hukum islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih, beraneka ragam,
ada yang menekankan pada fungsi Ushul Fiqih itu sendiri, dan ada pula yang
menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan
yang objeknya dalil hukum syara’ secara global dengan semua seluk beluknya.
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan
ulama Syafi’iyah (juz I : 16) bahwa yang dimaksud dengan Ushul Fiqih itu
adalah:
Artinya:
“ilmu pengetahuan
tentang dalil fiqih secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan
keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.”
Selain itu, Ibnu
Al-Subki (juz I : 25) mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:
Artinya:
“Himpunan dalil fiqih
secara global.”
Jumhur ulama Ushul
Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:
Artinya:
“Himpunan kaidah
(norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari
dalil-dalilnya.”
Pendapatan ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad
Al-Khudhary Beik, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun
Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih
sebagai:
Artinya:
“Pengetahuan
tentangkaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.”
Sementara itu, Abdul Wahab Khalaf, seorang guru besar
hukum di Universitas Kairo Mesir menyatakan:
Artinya:
“Ilmu pengetahuan
tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hokum-hokum syara’ mengenai
perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan
kaidah-kaidah dan metode penelitian hokum syara’ mengenai perbuatan manusia
(amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.” (Abdul Wahab Khalaf : 12)
Dari pengertian Ushul Fiqih di
atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama Syafi’iyyah, objek kajian
para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global): bagaimana
cara mengistinbath hukum: syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat
seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur
ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqih itu sendiri,
yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hokum
syara’.
Dengan demikian, Ushul Fiqih adalah
ilmu pengetahuan yang objeknya dali hukum atau sumber hukum dengan semua
seluk-beluknya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus ditempuh oleh
ahli hukum islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk
tersebut antara lain menerlibatkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil
tersebut.
Pada masa kini istinbath hukum yang
lebih relevan adalah istinbath dengan maksud syariah (ruh hukum), bahkan
cenderung menggunakan kaidah fiqiyah seperti yang dilakukan oleh para perumus
kompilasi hokum Islam di Indonesia. Dalam merumuskannya, tampaknya mereka
mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang dijadikan suatu kerangka teori.
2. RUANG LINGKUP USHUL FIQIH
1.
Pokok Pembahasan ushul fiqh.
Bertitik tolak dari defenisi ushul
fiqh yang disebutkan diatas maka bahasan pokok ushuil fiqh itu adalah tentang;
a). dalil-dalil atau
sumber hukum syara’;
b). hukum-hukum syara
yang terkandung dalam dalil itu;
c). kaidah-kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang
mengandungnya.
Dalam membicarakan sumber hukum,
dibicarakan pula kemungknan terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara
menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang
menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukuim syara’ tersebut. Hal ini
memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai
tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal
lain yang berhubungan denganya. Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok
bahasan terdapat perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekana diri
beberapa pokok bahasan tersebut.
2.
Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi Ushul Fiqih di atas, terlihat jelas bahwa
yang menjadi objek kajian Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua
seluk-beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau
metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang
melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Berdasarkan kedua definisi yang
dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas, Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqh
dari Syiria), menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqh yang
membedakan dari kajian fiqh, antara lain adalah :
·
Sumber hukum
Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’ baik yang
disepakati (seperti kehujahan Al-Qur’an dan sunnah), maupun yang
diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan dan mashlahah al-mursalah).
·
Mencarikan jalan
keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melalui
al-jam’u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan salah satu
dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqaut al-dalilain
(pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan
ayat, ayat dengan hadist, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
·
Pembahasan
ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid),
baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusu keilmuan
yang harus dimiliki mujtahid.
·
Pembahasan
tentang hukum sayar’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang
bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,
memilih anatar berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat,
mani’, batal / fasad, azimah dan rukhsah.
·
Pembahasan
tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam
meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui
pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash.
3.
Tujuan dan Kegunaan Ushul Fiqh
Para ulama ushul fiqh menyimpulkan
bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang
menyangkut persoalan aqidah, ibadah mu’amalah, ‘uqubah, dan akhlak.oleh sebab
itu,para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”,
melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum allah pada setiap kasus
yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
Secara sistematis para ulama fiqh
mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh yaitu antara lain untuk:
Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan
mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
a. Memberikan
gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ,
sehinggaa dia dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash; Disamping itu, bagi
masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para
mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan
mengamalkannya.
b. Menentukan
hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga
berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan belum ada
ketetapan hukumnya.
c. Memelihara
agama dari penyalagunaan dalil yang mungkin terjadi.dalam pembahasan ushul
fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap
mendapat pengakuan syara’. Melalui usul fiqh juga para peminat hukum Islam
mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang hasrus dipedomani, dan mana
yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder dan berfungsi untuk
mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat islam.
d. Menyusun
kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai
persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu
pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para
peminat hukum islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau
pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.
4.
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh
Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain
dalam islam, Ilmu Ushul Fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada
Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ushul Fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat.
Yakni mulai tumbuh pada abad kedua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah,
ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW memberikan fatwa dan
keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, berupa
Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang di ilhamkan kepadanya, serta berdasarkan
ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang
menjadi pedoman untuk beristibath dan berijtihad.Ilmu ushul fikih menurut ulama
ahlu sunnah wal jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan
melalui beberapa tahapan penting.
a.
Tahapan Tadwin
(kodifikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fikih yang dipelopori oleh
imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
Tahapan pertama dimulai pada masa imam asy-Syafi’i dan
berakhir kurang lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan
Tahapan ini adalah penulisan kaidah ilmu ushul fikih oleh imam asy-Syafi’i dan
keadaan serta kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini.
Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya dua madrasah
yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama dengan yang
lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di Madinah dengan
tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w 179 H) dan
kedua adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah
para murid Abu Hanifah.
Madrasah hadits dikenal sangat kental dan dekat dengan
riwayat, karena kota Madinah adalah tempat berkumpulnya para sahabat dan tempat
turunnya wahyu. Sebaliknya madrasah ar-Ra’yi sangat kental nuansa akalnya
karena tidak memiliki sebab-sebab riwayat seperti di Madinah, ditambah lagi
banyaknya fitnah dan pemalsuan hadits di sana. Yang perlu diperhatikan bahwa
kedua madrasah ini sepakat mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan al-Qur`an
dan sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber tersebut.
Dalam hal ini imam asy-Syafi’i mampu mengkompromikan
kedua madrasah ini dan memperoleh keistimewaan yang dimiliki masing-masing
madrasah tersebut. Beliau menyatukan fikih imam Malik di Madinah – yang beliau
sendiri adalah murid imam Malik – dan fikih Abu Hanifah di Irak, karena beliau
berguru langsung kepada imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w 189 H)
ditambah dengan fikih ahli Syam dan Mesir karena beliau pun mengambil ilmu dari
para ulama pakar fikih di sana. Ditambah lagi dengan Madrasah Makkah yang
memiliki perhatian lebih besar dalam tafsir al-Qur`an dan sebab turunnya. Dimana beliau belajar langsung di Makkah
kepada para ulama fikih dan ulama hadits disana hingga mendapatkan kedudukan
sebagai mufti. Semua ini didukung dengan kepakaran beliau dalam bahasa Arab
yang beliau dapatkan dari pedalaman Arab pada kabilah Hudzail yang termasuk
suku terfasih dalam berbahasa Arab. Dengan anugerah besar yang dimiliki inilah
–dengan taufiq dari Allah- beliau mampu meletakkan ushul dan kaidah dalam
ber-istimbath (pengambilan hukum dari dalil) serta ketentuan berijtihad. Juga
beliau mampu menjadikan fikih diambil dari sumber hukum yang jelas dan pasti.
Dengan sebab itu beliau membuka pandangan ulama fikih dan memberikan contoh
kepada para mujtahid setelah beliau untuk bertindak seperti yang telah beliau
lakukan dan menyempurnakan yang ditemui mereka nantinya. Demikianlah imam
asy-Syafi’i menulis kitab “Ar-Risaalah” yang menjadi kitab pertama dalam ushul
fikih.
b.
Tahapan Ittijaah
al-Haditsi (ushul fiqih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam
Al-Khothib al-Baghdadi dan Ibnu Abdilbarr.
Tahapan kedua
berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh
Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a. Imam ahli sunnah di timur Al-Khothib
Al-Baghdadi penulis kitab Tarikh Baghdad
b. Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin
Abdilbarr penulis kitab At-Tamhied.
Al-Khothib al-Baghdadi menulis dalam bidang ushul fikih
kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai nasehat kepada ahli
hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab Ar-Risaalah karya imam
asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti permasalahan jidaal dan
pembahasan yang berhubungan dengan adab fikih.
Sedangkan Ibnu Abdil barr menulis kitab Jaami’ Bayaan
al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang beberapa
pertanyaan yaitu:
- Pengertian ilmu.
- Pengokohan hujjah dengan ilmu.
- Penjelasan salahnya orang yang berbicara
dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
- Larangan memvonis tanpa hujjah(dalil)
- Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci
dalam adu hujjah dan debat.
- Pemikiran akal mana yang dicela dan mana
yang dipuji?
Muncul dalam Tahapan
ini juga dua kitab yaitu:
- Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu Zaid
ad-Dabuusy. Ibnu Kholdun mengkomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun
metodologi versi madzhab Abu Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak
sekali karya tulis dan yang terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid
ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu Kholdun hal. 361)
- Kitab Al-Mustashfa karya Al-Ghazali. Kitab
ini diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat
al-Manaazhir
Tahapan ini memiliki
karakteristik banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi dan atsar
shohih dari sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat
dilihat dari penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya
sebatas pada riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istinbath,
fikih, penetapan qiyas dan ijtihad serta lainnya.
c.
Tahapan Ishlah
dan pelurusan yang tidak benar dalam ilmu ushul fikih yang dipelopori imam Ibnu
Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim
Tahapan ketiga yang
dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah.
Muncul dalam Tahapan ini dua imam yaitu:
a. Ibnu Taimiyah
b. Ibnu al-Qayyim
Marhalah ini memiliki
karekteristik yang dibangun diatas dua pokok :
- Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah
ushul sesuai manhaj salaf
- Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan
yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
Hal ini selesai melalui
imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut
diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang
sejalan dengan beliau.
Pada Tahapan ini muncul
juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam,
al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari
kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun
mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah
dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya
kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.
5.
Aliran-aliran
Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh
dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat
perbedaan dalam membangun teori masing-masing yang digunakan dalam menggali
hukum islam.
• Aliran syafi’yyah dan
jumhur Mutakallimin (ahli kalam).
Aliran ini membangun ushul fiqh
mereka secara teoritis, menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik
dari naqli (Al-qur’an dan sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran) tanpa
terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok).
Kitab ushul fiqh standar dalam aliran
Syafi’iyyah/Mutakallalimin ini adalah: Al-Risalah yang disusun oleh imam
Al-Syafi’I, kitab al-mu’tamat, disusun oleh abu Al-husain Muhammad Ibn ‘Ali
al-bashri, kitab Al-Burhan fi al-ushul al-fiqh,disusun oleh Imam Al-haramainal-
juwaini, dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh imam abu hamid al- gazali, yaitu
:al-mankhul min ta’liqat al-ushul;syifa’ al-ghalil fi Bayan al-sya’ban wa
al-mukhil wa masalik al-ta’lil; dan al-mustashfa’ fi ilm al-ushul.
Sekalipun kitab ushul fiqh dalam
aliran Syafi’iyyah/Mitakallim cukup banyak ,tetapi yang menjadi sumber dan
standar dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut diatas.
• Aliran fuqaha’
Yang dianut oleh ulama-ulama mazhab
Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha’ karna aliran ini dalam membangun teori ushul
fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka.Dalam menetapkqan
teori tersebut,apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan
hukum furu’maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’
tersebut.
6.
Keterkaitan
Ushul fiqh dan Fiqh
Fiqh dan Ushul merupakan bahasan
terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan sesuatu ketentuan
tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasan mengenai
kenapa ketentuan itu begitu adanya. Sehingga memasuki lapangan pembahasa ushul
fiqh. Demikian pula waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas
bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkup bahasan fiqh.
B. 5 (LIMA) QAIDAH INDUK
1.
الامور بمقاصدها
(Segala
sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya)
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung
pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya
serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya
bergantuk pada niatnya. Oleh karena itu, motif dan niat yang terkandung dalam
hati sewaktu melakukan satu perbuatan menjadi kriteria yang nenentukan nilai
dan status hukum amal yang ia lakukan.
Niat dikalangan imam syafi’i diartikan dengan: “Bermaksud
melakukan sesuatu deisertai dengan pelaksanaannya”.
قصــد
شيء قترنا بفعلـــه و محلها فى القلب
Begitupun dikalangan mazhan hambali menyatakan bahwa niat
ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari
maksud tersebut di dalam hati. Jadi apabila menyakini/beriktikad di dalam
hatinya, itu pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan
atau yang disunahkan atau hal yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan niat karena Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan
saja. Misalnya saja seorang duduk-duduk atau tiduran di masjid
tanpa ia melakukan niat I’tikaf, maka apa yang dilakukannya di dalam
masjid tidak akan mendapat pahala, sedangkan apabila ia berniat I’tikaf terlebih
dahulu ia akan mendapatkan pahala I’tikaf.
Pada asalnya niat dilakukan di awal setiap pekerjaan
ibadah, kecuali niat pada awal shaum di bulan Ramadhan yang mendahulukan niat
terlebih dahulu, dan apabila niat dilakukan berbarengan dengan shalat fajar,
maka itu tidak sah, kecuali boleh melakukan niat apabila pada shaum sunnah.
Ada beberapa perbedaan mengenai niat, apakah niat itu
termasuk rukun ataukah syarat. Namun mayoritas ulama mazhab syafii telah
memilih bahwa niat merupakan rukun bukan syarat, karena niat masuk pada
juziyyah ibadah.
- Dasar Kaidah
Yang menjadi dasar dari
kaidah-kaidah ini adalah apa yang difirmankan oleh Allah SWT:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan
tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan
mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah : 5)
ومن يرد ثواب الدّنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها
وسنجزى الشّكرين
“barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.”(Ali Imron: 145)
Begitupun Hadits Nabi
Muhammad Saw.:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ عن عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
– يَقُولُ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari
Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya
amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu
tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang
hijrohnya untuk Alloh dan Rosul Nya maka hijrohnya itu untuk Alloh dan
Rosul Nya, dan barangsiapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan
mendapatkannya atau hijrohnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya,
maka hijrohnya itu tergantung pada apa yang dia hijroh untuknya.” (HR.
Bukhori 1, Muslim 1907).
Imam Ibnu Rojab saat menerangkan hadits
Umar diatas berkata:
“Dua kalimat ini adalah
dua kalimat yang mencakup semua hal, dan merupakan sebuah kaedah yang
universal, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya.”.
Imam Asy Syathibi :
“Sesungguhnya amal
perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran
dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat,
dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan
cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan
adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah
bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib
ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan
tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.”.
Imam Al Khothobi saat menerangkan hadits Umar
diatas pun berkata:
“Hadits ini adalah
salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung didalamnya.
Maknanya adalah bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam agama ini
tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan mana yang
sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.”
- Fungsi niat
Pertama
: Membedakan antara adat dengan ibadah
Karena hampir semua bentuk
ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat. Misalnya :
Puasa, yang hakekatnya
adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua yang membatalkan
dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini mungkin saja
dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin dilakukan
oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau sebab
lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan niatnya.
Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau diniatkan
untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Kedua
:Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya
Hal ini dikarenakan
satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil misal tentang sholat,
sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada
berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan antara
keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.
Begitu pula masalah
puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang yang puasa pada
hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari Senin, atau puasa
enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau mungkin puasa
kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan salah satunya
harus dengan niat.
Ketiga :
Untuk
membedakan kealitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
Keempat :
Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan Ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dan yang sunnah.
2. “Adh-Dhararu Yuzalu” [kesulitan itu harus dihilangkan]
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah
kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan
pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Namun Dharar (Dharar) secara
etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti
sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara
terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
a.
Dharar ialah
posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang
dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
b.
Abu Bakar Al
Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia
tidak makan”.
c.
Menurut Ad
Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
d.
Menurut sebagian
ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian
berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
e.
Menurut Asy
Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari
kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti
ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa,
nasab, harta serta kehormatan manusia.
a. Dasar-Dasar pengambilan kaidah “Ad-Dhararu
Yuzalu”
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah
terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus
dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini
adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
Artinya: “Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S
al-a’raf 7: 56)
Surat al-Qashash ayat
77:
Artinya:“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (Q.S al-Qashash
28: 77)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لاَضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak
diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada
orang lain".
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini
banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin,
fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya.
b. Uraian Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Islam tidak menghendaki
adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini
sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
لاَضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَ
“ tidak boleh
memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”
Para ulama berbeda
pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.
Al-Husaini
mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada
manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2.
Ulama lain
mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar
diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang
tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok
(dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan
saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang
begitu jelas di dalamnya. Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum
umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam
menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya
dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk
menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain
(tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya,
jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah
berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak
berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang
diterima dirinya. Hal itu dikarenakan
ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya
sendiri. “ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat
” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya
yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang
salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka
bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila
tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh
dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka
tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau
baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya
barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun
jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk
menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.
Ada juga contoh
lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
- Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.
3.
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
“Kesusahan mendatangkan kemudahan”
Secara bahasa, al-masyaqqat berarti Secara bahasa,
al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan, kepenatan, keletihan), Sedang arti
terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang, mudah, ringan), dan al-luyunat
(lunak, halus, dan ramah).
Adapun makna
terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :
ﺍﻥ
ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ
ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﺩﻭﻥ
ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ
“Hukum
yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada didi dan sekitarnya terdapat
kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mulkallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”
Makna kaidah
kesulitan menyebabkan adanya kemudahan adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum),
maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
Jadi dengan kaidah ini diharapkan agar syari’at Islam dapat
dilaksanakan oleh hambaNya/mukallaf kapan saja dan dimana saja yakni dengan
memberikan kelonggaran atau keringanan disaat seseorang hamba menjumpai
kesukaran dan kesempitan.
1. Dalil atau Dasar Kaidah
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ
ﺘﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
Terdapat
dasar-dasar yang meyakinkan mengenai kaidah asasi ketiga ini. Dasar dasar
tersebut berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi dasar kaidah asasi
ketiga adalah :
- Al-Qur’an.
1). Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 185 :
ﻴﺮﻴﺪ ﺍﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ
ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ
“Allah
menghendaki kemudahan dengan kalian dan tidaklah menghendaki kesukaran dengan
kalian”
2). Al-Qur’an
surat Al-Hajj ayat 78 :
ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ
ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ
“dan Dia tidak
menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan”
- Al-Hadits.
Sabda Nabi SAW.:
ﺒﻌﺛﺕ ﺒﺎ ﻠﺤﻧﻳﻓﻳﺔ ﺍﻠﺳﻣﺤﺔ ﺍﻠﺳﻬﻠﺔ
(Aku diutus
dengan membawa agama yang benar dan mudah).(H.R Ahmad dari Ibnu Abbas)
ﺍﻦ ﷲ ﺃﺮﺍﺩ ﺒﻬﺫ ﺍﻻﻣﺔ
ﺍﻠﻴﺳﺮ ﻮﻠﻡ ﻴﺮﺩ ﺒﻬﻡ ﺍﻠﻌﺳﺮ
(Sesungguhnya
Allah menghendaki kemudahan dengan umat ini dan tidaklah menghendaki kesukaran
dengan mereka)
Dua ayat tersebut disajikan secara seimbang: ayat pertama
dan ayat kedua berisi tentang keringanan dan kemudahan; sedangkan dari hadits
tersebut masih berkaitan erat dengan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185
dan dengan Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 78, bahwa dari kedua hadits tersebut
hadist pertama tersebut diatas berisikan tentang kebenaran Nabi diutus oleh
Allah untuk membawa agama yang benar dan mudah, dan dalam hadits Nabi yang ke
dua tersebut diatas bahwa Allah menghendaki kemudahan dengan umat Nabi Muhammad
SAW dan tidak menghendaki kesulitan.
Prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas
meniscayakan bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah didapati suatu
tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Dalil-dalil tersebut juga
mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan hukum-hukumNya (yang termuat dalam
syari’ah Islam), pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan
keringanan kepada hambaNya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan
hati, atau yang berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah,
kecuali semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang
mukallaf.
- Sebab-sebab Adanya Kesulitan.
Abdurrahman as-Syuyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya
menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan, yaitu :
a. Safar
(Bepergian)
Safar (Pejalanan) panjang adalah keluar mengadakan
perjalanan menuju daerah yang berjarak tempuh tiga hari perjalanan atau lebih
dengan menggunakan unta atau jalan kaki. Atau diperkirakan sekitar 20 1/3 jam
atau 86 km menurut kalangan ulama madhab Hanafi, sementara menurut kalangan
ulama madhab Syafi’I jarak tempuhnya diperkirakan 96km. Menurut Imam Nawawi,
kesulitan ini menjadikan 8 macam keringanan, yaitu : boleh mengqashar shalat,
boleh berbuka puasa, boleh memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan
jumat, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan
kebolehan bertayamum.
b.
Marodl
(Sakit)
Sakit merupakan salah satu alas an hokum (‘udzr syar’i)
yang dijadikan sebagai sebab pemberian keringanan dan penghilangan kesukaran
dari subyek hokum (mukallaf). Sakit adalah suatu kondisi tidak normal yang
terjadi pada fisik manusia dan menimbulkan gangguan pada kinerja tubuh. Misalnya
kebolehan bertayamum, duduk ketikanshalat dan khutbah yang semula diwajibkan
berdiri, menjamak dua rakaat, meninggalkan sholat jum’at, berbuka puasa dengan
menbayar fidyah atau menberi makan orang miskin, berobat dengan benda najis,
kebolehan melihat auratnya.
c.
Ikrah (Terpaksa atau
dipaksa)
Adapun definisi paksaan (ikrah) menurut terminologi
syara’ adalahmenekankan orang lain untuk melakukan sesuatu yang
dibencinya dan tidak ingin dilakukannya seandainya tidak ditekan. Misalnya:
minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa orang yang lebih kuat,
dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak mau minum, maka meminumnya menjadi
tidak haram.
d.
Nisyam (Lupa)
Lupa adalah
ketidakmapuan menhadirkan(mengingat)sesuatu saat dibutuhkan.
Misalnya: Seharusnya
makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau makannya karena lupa, maka puasanya
tidak batal.
e.
Jahl (Bodoh)
Secara terminologi kalangan ahli hokum syar’i
mendefinisikan al-jahl adalah ketidak pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i
baik secara keseluruhan maupum sebagiannya. Misalnya: Orang yang baru masuk
Islam karena tidak tahu, kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia
tidak dikenai sanksi.
Perbedaan antara ketidak tahuan (jahl) dan Lupa (Nisyan)
jika lupa termasuk perkara-perkara darurat yang datang secara paksa pada diri
manusia sehingga tidak kuasa ditolaknya. Sedangkan kebodohan atau ketidaktahuan
dapat dihindari manusia dengan jalan pembelajaran.
f. Usrun
dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Al-Usr (kesulitan)
adalah kesusahan kesukaran. Kesulitan identic dengan kefakiran, sehingga
laki-laki yang sulit berarti laki-laki yang rendah tingkat toleransinya dalam
segala sesuatu.
Adapun ‘umum al-balwa
(bencana umum) adalah bencana yang menimpa kebanyakan orang sehingga sulit
dihindari dan dijauhi.
Misalnya: laki-laki
diperbolehkan mengenakan sutera karena penyakit gatal dan di tebngah-tengah
peperangan untuk nggetarkan hati musuh dan tidak diwajibkannya qadha’,
mengganti shalat wajib bagi wanita haid karena kesulitan pengulangan (masyaqqah
tikrar), tidak seperti puasa.
g.
Naqsh (Kekurangan)
Kekurangan alamiah
adalah salah satu alasan hukum yang sah (‘udzur)
yang meniscayakan pemberian keringanan dalam pembebanan hukum syar’i.
Terkait dengan wanita,
syara’ telah banyak memangkas beban kewajiban dari pundak mereka dibandingkan
beban kewajiban yang dipikul kaum laki-laki, misalnya kewajiban shalat jamaah
dan Jum’at, ikut ikut dalam barisan jihad, dibebaskan untuk membayar jizyah,
dan sebagainya. Kaum wanita juga diperbolehkan memakai kain sutera, memakai
perhiasan emas, dan tidak mengganti (qadha’)
shalat fardhu yang ditinggalkannya selama masa haid atau nifas (pasca
persalinan) demi menghilangkan kesulitan dan menepis kesukaran yang berurang
ulang (masyaqqah tikrar) akibat
adanya halangan yang bersifatperiodik dan terus menerus. Ketentuan tersebut
berbeda denagn puasa yang tetap diwajibkan untuk mereka mengganti di lain hari
karena tidak ada halangan dan kesulitan dalam menggantinya.
4.
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
“Sesuatu yang Yakin Tidak Bisa Hilang
dengan Keraguan”.
1.
Pengertian
اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil
kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ فِي
الْحَوْضِ : yang artinya
air itu tenang dikolam
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana
tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan
salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu
bertingkat tingkat, yaitu:
a)
اليَقِيْنُ : Keyakinan hati
yang berdasarkan pada dalil
b)
الظَنُّ : persangkaan kuat
Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu
apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya
berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat
inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ
c)
الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak
bisa menguatkan salah satu diantara keduanya
d)
الوَهْمُ : Persangkaan lemah
Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya
perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ Adapun kalau
seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
e)
الجَهْلُ
الْبَسِيْطُ (Kebodohan
yang ringan ) yaitu orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya
tidak mengetahui
f)
الجَهْلُ
الْمُرَكَّبُ (kebodohan
berat) yaitu orang yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui. (Lihat Syarah
Al Ushul min Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal :
69)
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“Bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa
dihilangkan hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang
diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali
dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.” (Lihat Al Madkhol Al Fiqhi
oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi Idlohi Qowa’id Fiqhil
Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169).
2.
DALIL
Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadits Rosululloh صلى
الله عليه وسلم, diantaranya:
Firman Allah Ta’ala:
وَمَايَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus
: 36)
Hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ
مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata : Rosululloh صلى
الله عليه وسلم bersabda :
“Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu
dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum,
maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim : 362)
Imam Nawawi رحمه الله berkata:
“Hadits ini adalah
salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah fiqh, yaitu
bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum asalnya sehingga
diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak membahayakan baginya sebuah
keraguan yang muncul.” (Lihat Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ
عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ
الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: “Bahwasannya ada seseorang yang
mengadu kepada Rosululloh صلى الله عليه
وسلم bahwa dia
merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka Rosululloh bersabda:
“Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam Al Khothobi رحمه
الله berkata:
“Hadits ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang
yakin.” (Lihat Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى
ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا
شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا
تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه berkata :
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara
kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan
sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa
membuat jengkel setan.” (HR. Muslim : 571)
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ
وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ
ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ
ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ
سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari Abdur Rohman bin Auf رضي
الله عنه berkata :
“Saya mendengar Rosululloh صلى الله عليه
وسلم bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia
tidak mengetahui apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah
bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah
sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua
rokaat, begitu pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga
ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu
setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah
1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما berkata: “Rosululloh صلى
الله عليه وسلم bersabda:
“Janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah
kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu
tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i
2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar رحمه
الله dalam At
Tamhid berkata:
“Bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah
keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh
memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang
keberadan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang
ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga
puluh hari.”
3. CONTOH
a)
Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah
berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia tidak
wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang batalnya
masih diragukan.
b)
Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa dia
telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu kembali
ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin sekarang adalah
batalnya wudlu.
c)
Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan
air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu
adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu
suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan,
kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis,
misalkan bau pesing dan lainnya.
d)
Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek
atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib
mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air
adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
e)
Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu
apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap sah dan tidak
perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
f)
Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam
keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dia
tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi
hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal
dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
g)
Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia
tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh
menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya telah
meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke
pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan
dengan suaminya yang hilang beritanya.
h)
Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia
ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib
melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia
telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua
orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.
5.
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Al-‘aadah muhkamah secara
bahasa al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود)
atau al-mu’awadah ( المعاودة) yang artinya
berulang (التاكر ار).
Ibnu nuzaim
mendifinisikan al-‘aadah dengan
عبارة
عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند الطباع الساليمة
“sesuatu ungkapan dari
apa yang terpendam dalam diri,perkara yang berulang-ulang yang biasa diterima
oleh tabi’at(perangai)yang sehat.”
Menurut al-Jurjani:
العادة
ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى
“Al-‘aadah ialah
sesuatu(perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena
dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.
Para ulama mengartikan al-‘aadah dalam pengertian
yang sama dengan al-urf, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan
yang berbeda,misalnya al-‘urf di definisikan dengan:
العرف
هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار ذالك مطردا غالبا
‘urf adalah apa yang
dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya
sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”
Menurut abdul wahab
khalaf:
العرف
هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة وفى لسان الشرعيين
لافرق بين العرف والعادة
“al-‘urf ialah sesuatu
yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka,
dari:perkataan,perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.hal ini dinamakan pula
dengan al-‘aadah.dan dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara
al-‘urf dan al-‘aadah.
Dari memperhatikan ta’rif-ta’rif diatas, dan juga
ta’rif yang diberikan oleh ulama-ulama, dapat di fahami bahwa al-‘urf dan
al-‘aadah adalah semakna, yang merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya
harus betul-betul telah berulang-ulang di kerjakan oleh manusia,sehingga
melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabi’at
yang sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan
tidak bertentangan dengan syara’.
Akan tetapi tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah
dengan al-‘urf hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada
faedahnya sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi,saling menipu ,dan
sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan
mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Diantara perbuatan yang
hukumnya oleh rosulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan
hadist:
قدالنبي
صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين فقال: من سلف في شمر
فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه البجارى عن ابن عباس
“ketika nabi SAW datang
dimadinah,mereka (penduduk madinah) telah biasa member uang panjar (uang muka)
pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun.”
“maka nabi
bersabda:barang siapa yang memberi uang panjar pada buah-buahan, maka
berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu
dan waktu yang tertentu.”
Demikianlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan
tidak bertentangan dengan syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,
sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya
adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara
mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau urf’
yang berlaku.
Dalam hubungannya
dengan kaidah ini para fuqoha’ mengatakan:
كل
ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى العرف
“ semua yang datang
dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada
dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”
Seperti yang berlaku
dalam jual beli, yaitu al-ihya’, menghidupkan tanah yang mati dan
at-ta’rif ,pengumuman tentang barang yang ditemukan, dan lain-lainnya.
Hal itu perlu adanya pemahaman dan pelaksanaannya juga
dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku dimana kesemuanya itu terjadi.
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada
orang-orang yang bodoh”
مَا
رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ
المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang
dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa
saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab
Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
a.
اِسْتِعْمَالُ
النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa
diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib
diamalkan”
Maksud kaidah ini
adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan,
dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak
ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan
batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang
berlaku.
b.
اِنَّمَا
تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap
(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau
berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang
dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan
tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai
suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai
dasar hokum.
Contoh: Apabila seorang
yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak
di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha
koran tersebut.
c.
العِبْرَةُ
للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui
adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang
terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan
ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ
بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ
“Hukum itu dengan yang
biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun
tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar
berdasarkan pada kebiasaan.
d.
المَعْرُوْفُ
عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah
dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya
ikat seperti suatu syarat yang dibuat. Contoh: Menjual buah di pohon tidak
boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka
para ulama membolehkannya.
e.
الْمَعْرُوْفُ
بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah
dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi
adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
Contoh: Transaksi jual
beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli.
Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi
pembeli.
f.
التَّعْيِيْنُ
باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan
‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum
tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai
dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang
didasarkan pada nash.
Contoh: Apabila orang
memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu
dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk
yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
g.
المُمْتَنَعُ
عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu yang tidak
berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini
adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara
rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
Contoh: Seseorang
mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa
menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
h.
الحَقِيْقَةُ
تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang
sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila
seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat
kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak
bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.
i.
الاِذْنُ
العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian
izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan
rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan,
maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan
berarti mempersilahkannya.
C. SUMBER HUKUM ISLAM
1. ALQURAN
A. Pengertian
Menurut sbagian besar ulama, kata Al-Quran berdasarkan
segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bias dimasukan pada wajan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru’, seperti terdapat dalam surat
Al-Qiyanah (75): 17-18:
ان عليناجمعه وقرانه فاداقراناه فتبع قراناه ( القيمة :
17-18 )
“sesungguhnya
atas tanggungan Kami-Lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.
(QS.Al-Qiyamah
: 17-18)
Adapun difinisi alqur’an secara istilah menurut
sebagian ulama ushul fiqih adalah:
كلام
الله تعالى المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي المنقول الينا
بالتواترالمكتوب بالمصاحف المتعبدبتلاوته المبدوء بالفاتحة والمختوم بسورة الناس
“Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada
Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dari definisi tersebut, para ulama ushul fiqih
menyimpulkan beberapa ciri khas Al Qur’an, sebagai berikut : (Asy-Syaukani :
26-27)
1)
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muahmmad SAW. Dengan
demikian, apabila tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan
dengan Al-Qur’an. Seperti diantaranya wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi
Ibrahim (zabur) Ismail (taurat) Isa (injil). Memang hal tersebut diatas kalam
Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad saw, maka tidak dapat
disebut Al-Qur’an.
2)
Bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa arab Qurasiy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
antara lain : QS. As-Syuara : 192-195, Yusuf : 2 AZzumar : 28 An- NAhl 103 dan
ibrahim : 4 maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Alqur’an
tidak dinamakan Alqur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak Sah
Shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan alquran, sekalipun ulma’
hanafi membolehkan Shalat dengan bahasa farsi (Selain Arab), tetapi kebolehan
ini hanya bersifat rukhsoh (keringanan hukum).
3)
Al-Quran
dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawattir tanpa
perubahan dan penggantian satu kata pun (Al-Bukhori : 24)
4)
Membaca setiap
kata dalam Alquran mendapatkan pahala dari Allah baik berasal dari bacaan
sendiri (Hafalan) maupun dibaca langsung dari mushaf Alquran.
5)
Al-Qur’an
dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan
surat yag terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan
digamti letaknya. Dengan demikian doa-doa, yang biasanya ditambahkan di
akhirnya dengan Al-Qur’an dan itu tidak termasuk katagori Al-Qur’an.
1)
Pandangan Imam
Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama’ bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Akan tetapi Imam Abu Hanifah itu
berpendapat bahwa Al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang
menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat
dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya: Dengan bahasa Parsi walaupun
tidak dalam keadaan Madharat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun
seseorang itu bodoh tidak di bolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan
bahasa selain Arab.
2)
Pandangan Imam
Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah
yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT . Sebagai sumber hukum islam,
dan Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk, Karena kalam Allah
termasuk Sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau
berkata, “ seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang
menafsirkan Al-Qur’an ( dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher
orang itu,”.
Dengan demikian, dalam
hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi
pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan
kebohongan terhadap Allah SWT. Dan imam malik mengikuti jejak mereka dalam cara
menggunakan ra’yu.
3)
Pendapat Imam
Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa
dilepaskan dari As-Sunnah karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali,
Dalam artian tidak dapat di pisahkan. Sehingga seakan akan beliau menganggap
keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan
derajat Al-Qur’an dengan Sunnah, Perlu di pahami bahwa kedudukan As-Sunnah itu
adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal
dari Allah SWT.
Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam
berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan Bahasa Arab, misalkan dalam
Shalat, Nikah dan ibadah-ibadah lainnya. Beliau mengharuskan peguasaan bahasa
Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an, kami
ulangi kembali bahwa pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu
Hanifah yang menyatakan bahwa bolehnya shalat dengan menggunakan bahasa selain
Arab. Misalnya dengan bahasa persi walaupun tidak dalam, keadaan Madharat.
4)
Pandangan Imam
Ahmad Ibnu Hambal
Dalam penafsian terhadap Al-Quran Imam Ahmad betul betul
mementingkan penafsiran yang datangnnya dari As-Sunnah (Rosulullah SAW). Dan
sikapnya dapat di klasifikasikan menjadi tiga :
a)
Sesungguhnya
zhahir al-qur’an tidak mendahului as-sunnah.
b)
Rosulullah saw.
Yang berhak menafsirkan al-qur’an, maka tidak ada seorangpun yang berhak
menafsirkan atau menakwilkan alqur’an, karna as-sunnah telah cukup menafsirkan
dan menjelaskannya.
c)
Jika tidak di
temuan penafsiran yang berasal dari nabi, maka dengan penafsiran para
sahabatlah yang di pakai. Karna merekalah yang menyaksikan turunya al-qur’an
.dan mereka pula yang lebih mengetahui
as-sunnah, yang mereka gunakan sebagai penafsiran al-qur’an.
Menurut Ibnu Taimiah, Al-Qur’an itu tidak di tafsirkan,
kecuali dengan Atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan
kembali bahwa jika tidak di temukan dalam hadits Nabi, dan Qoul Sahabat, di
ambial dari penafsiran para Tabi’in. (Abu Zahroh : 242-247)
c.
Petunjuk
(Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum
Syara’. Merekapun spakat bahwa semua ayat al-Qur’an dari segi wurut
(kedatangan) dan Tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini
karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir.
Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushiaf-nya,
yang tidak ada pada qiro’ah mutawatir, hal itu hanya merupakan
penjelasan dan penafsiran pada Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. Atau
hasil ijtihad mereka dengn jalan membawa nas mutlak pada muqayyad dan
hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para penbahas berikutnya menduga bahwa
hal tersebut termasuk qiroat Khairu Mutawatir yang periwayatannya
tersendiri. Diantara para Sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada
mushafnya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud di mencantumkan kata Mutata Biatin
pada ayat 89 surah al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya
tertulis :
فمن لم يجد فصيا م ثلا ثة ا يا م متتا بعا ت
Dan menambah kata dzi
ar-rohmi al—muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat
tertulis:
وعلى الوارث دى الرحيم المحرم
Ubai Ibnu Ka’ab
mencantumkan kata Min Al-Ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga
ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:
وان كان رجل يورث كلالة اوامراة وله اخ اواخت من الام
Namun, perlu di
tegaskan bahwa hal tersebut tidak di dapati dalam Mushaf Utsmani yang
kita pakai sekarang ini.
Adapun di tinjau dari segi Dilalah-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat
di bagi dalam dua bagian;
1) Nash yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya tdk bisa di
takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan tdk tergantung pd hal-hal lain di luar
nash itu sendiri.Contoh yg dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yg
menetapkankadar pembagian waris, pengharaman riba , pengharaman daging
babi,hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat ayatyg
menyangkut hal hal tersebut, maknanya jelas tegas dan menunjukkan arti dan
maksud tertentu, dan dalam memahaminya
tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
2) Nash yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yg menunjukkan suatu makna yg dpt di-takwil
ayau nash yg mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak
(homonim) atapun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai
cara, seperti dilalah isyarat-nya , iqtidha-nya, dan sebagainya. Para ulama, slain berbeda pendapat
tentang nash Al-qur’an mengenai penetapan yg qath’i dan zhanni dilalah, juga
berbeda pandapat mengenai jumlah ayat yg termsuk qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-syatibi menegaskan behwa
wujud dalil syara’ yg dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yg qath’i itu
tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yg qath’i tubut pun untnk
menghasilkan dilalah yg qath’i masih bergantung pd premis-premis yg seluruh
atau sebagiannya zhanni . Dalil-dalil syara’ yg bergantung pd dalil yg zhanni
menjadi zhnni pula.(Asy-Syatibi,1975,1;35).
2. SUNNAH
A. Pengertian
Arti sunnah dari segi
bahasa adalah jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang senantiasa
dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Sedangkan As-Sunnah menurut syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan
Rasulullah. Pengertian sunnah juga dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu:
· Ilmu Hadits
· Ilmu Ushul Fiqih
· Ilmu Fiqih
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad
SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:
Artinya:
"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur
Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring
gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:
Artinya:
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik
berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."
B. Kekuatan sebagai Hujjah
Umat islam sepakat bahwa
ucapan, perbuatan, dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau
tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan
kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam. Ia
adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’
atas perbuatan orang-orang mukallaf.
Adapun bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara
lain:
1). Nash-nash Al-Quran. Karena Allah SWT, sering kali dalam
ayat-ayat Al-Quran memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, menjadikan taat
kepada Rasul sebagai bukti ketaatan mengembalikan perselisihan pendapat yang
terjadi diantara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
2). Kesepakatan para Sahabat ra, baik sesama hidup maupun
sepeninggalan Rasulullah Saw. Akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa
hidup nabi, para sahabat telah melaksanakan hukum, menjalankan perintah dan
(menjauhi) larangan nabi Saw; halal dan haram.
3). Allah Swt, dalam Al-Quran telah menetapkan berbagai
kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak
terperinci.
C. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Quran
Hubungan As-Sunnah kepada
Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan
hukum syara’ adalah menjadi pengiring Al-Quran. Adapun hubungannya kepada
Al-Quran dari segi hukum yang dibawanya, tidak lebih dari salah satu di antara
tiga hal berikut:
· As-Sunnah menetapkan dan
menguatkan hukum yang dibawa Al-Quran.
· As-Sunnah memerinci dan
menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa Al-Quran
· As-Sunnah juga menetapkan
dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Quran.
D. Dilalah Sunnah
Ditinjau dari segi
petunjuknya, hadits sama dengan Al-Quran, yaitu bisa qath’iah dilalah
dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut,
namun dalam aplikasinya berbeda-beda. Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunnah terhadap
Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa
yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. akan tetapi, mereka
berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila
As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.
Dalam kajian ushul fiqih, hadits dari segi sanadnya
terbagi menjadi dua macam: hadits mutawatir dan hadits ahad.
3. IJMA’
A.
Pengertian Ijma’
Secara etimalogi, ijma’
terbagi kepada dua pegertian, yaitu :
1). Ijma’ berarti
kesepakatan atau konsensus, misalnya perkataan :
جمع
القوم على كذالك اذا التفقوا عليه
“Suatu kaum telah
berijma’ begini, jika mereka telah sepakat begini.”
Pengertian tersebut
juga dapat ditemukan didalam surat Yusuf ayat 15, yaitu :
Artinya :
“ Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka
memasukkan dia)…” (QS. Yusuf : 15)
2). Ijma berarti tekad atau niat yaitu
ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat pada surat
Yunus ayat 71:
Artinya:
“Karena itu bulatkanlah keputusan dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).” (QS. Yunus : 71)
Pengertian tersebut
juga terdapat dalam sabda Nabi SAW ;
لا
صيام لمن لم يجمع الصيام من الليل(روه ابو داود)
“ Tidak sah puasa seseorang yang tidak
membulatkan niat puasanya pada malam harinya.” (HR. Abu Dawud)
Adapun pengertian ijma’ secara terminologi, para ulama
ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikannya:
a. Pengarang
kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua
ulama mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara’.
b. Pengarang
kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah syara’.
B. Syarat dan Rukun Ijma’
Syarat terbentuknya
ijma’ yaitu sebagai berikut :
1). Yang bersepakat
adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai ulama yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari hukum-hukum syara’. Dalam
kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang disebut dengan mujtahid ialah orang
yang faqih. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, hal
ini berdasarkan pendapat AL-Wadih dalam kitabIsbath, bahwa mujtahid yang
diterima fatwanya ialah ahlu al-halli wal aqdi.
Pendapat-pendapat
tersebut sebenarnya memiliki kesamaan, yakni bahwa yang dimaksud mujtahid
adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu
meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jika dalam suatu masa tidak ada seorang
pun yang mencapai derajat mujtahid, maka tidak bisa dikatakan ijma’. Mekipun
ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tetap tidak dikatakan ijma’, karena tidak
mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya sendiri.
2). Para mujtahid harus
umat Muhammad SAW. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan umat
Muhammad adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl al-halli wa al-aqdi. Ada
juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golonan
Muhammad. Tidak bisa dikatakan ijma’ jka kesepakiatan itu dilakukan oleh para
ulama selain umat Muhammad SAW. karena ijma’ umat Muhammad SAW. itu telah
dijamin bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atau ber-ijma’ untuk melakukan
suatu kesalahan.
3). Dilakukan setelah
wafatnya Nabi. Hal itu karena ketika Nabi masih hidup, Nabi-lah yang menjadi
sumber hukum dari setiap permasalah yang terjadi.
Adapun rukun ijma’
adalah sebagai berikut :
a. Yang
terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya
kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
b. Mujtahid
yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada
masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan
itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatanya.
d. Sandaran
hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadits Rosulullah SAW.
C.
Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ jika
dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1). Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan).
Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan
secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya. Ijma’
sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyyah
menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga dengan ijma’ bayani, ijma’
qauli atau ijma’ haqiqi.
2). Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang
diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau
pun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila
telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a. Diamnya
mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan
oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’
sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh
sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.
b. Keadaan
diamnya para mujtahid itu cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil
pendapatnya.
c. Permasalahan
yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang
bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang
tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika
seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat,
sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.
d. Maksud Ijma’ dalam Kitab-Kitab Fiqih
Sebagaimana telah kita
ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan
dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’.
Dengan demikian, apabila jumhur ulama menetapkan kesepakatan yang dilakukan
oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak termasuk ketetapan hukum dan tidak
dikatakan ijma’.
Menurut orang-orang yang
selalu mengikuti beberapa permasalahan, hasil ijma’ itu di adakalanya
bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid, tetapi ada juga yang berasal
dari kesepakatan imam madzhab. Maka tidaklah sah untuk menggantungkan diri
kepada kitab-kitab fiqih yang didalamnya terdapat kata ijma’, karena ijma’
tersebut mungkin saja hanya kesepakatan para ulama yang ada pada suatu madzhab
yang ditulis oleh pengarang kitab.
4. QIYAS
1. Pengertian
Qiyas menurut bahasa
adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan
yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda
bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istimbath
hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini:
1). Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan
ciptaan manusia yakni pandangan mujtahid.
2). Golongan
kedua qiyas merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk
mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh paramujtahid
ataupun tidak.
B. Rukun
Qiyas
a). Ashl (pokok),
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan.
b). Far’u (cabang),
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
c). Hukum Ashl,
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d). Illat
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
Para
ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil
al-Quran, Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat rasional.
Alasan ulama yang menetapkan qiyas:
a.
Diantara ayat-ayat al-quran yang digunakan sebagai dalil.
b.
Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil
c.
Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan
bahwa qiyas adalah hukum syara’.
C. Qiyas
sebagai sandaran Ijma’
Para ulama berbeda
pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’ diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijma’
dengan demikian bahwa Ijma itu qath’I, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni,
menurut kaidah, yang qath’, itu tidak sah didasarkan pada yang zhunni
Pada ulama yang menyatakan
bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’ beragumen bahwa hal itu telah sesuai
dengan pendapat sebagian besar ulama, juga dikarenakan qiyasitu termasuk salah
satu dalil syara’ maka sah dijadikan sandaran ijma’
D. Kehujjahan
Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum
Masalah
ini termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan qiyas, dan
tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan qiyas.
Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode qiyas harus
menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan mengembalikan
semua pada hukum.
D. METODE IJTIHAD
1. IJTIHAD
a.
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, Ijtihad ialah mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk
perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah.
Adapun ijtihad secara
istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum
adalah
عَمَلِيَّةُ
اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas
untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci
dalam syariat”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah
ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang
menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banyak
sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,
diantaranya yaitu :
1) Firman Allah SWT
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ
اللّهُ {النساء : 105}
“Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”
2) Adanya keterangan sunnah, diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فاجَّتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَافِ وَاِذَا حَكَمَ
فَاجَّتَهَدَ ثُمَّ أَخَّطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim
menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia
mendapat satu pahala”
C.
Macam-macam Ijtihad
Menurut Muhammad Taqiyu
al-Hakim membagi ijtihad menjadi dua bagian, yaitu :
1) Ijtihad al-Aqli,
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal tidak menggunakan dalil
syara’
2) Ijtihad syar’i,
yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’
D.
Syarat-syarat Ijtihad
1). Menguasai dan
mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an baik menurut
bahasa maupun syariah
2). Menguasai dan
mengetahui hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat
3). Mengetahui naskah
dan mansukh dari al-Qur’an
4). Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya
tidak bertentang dengan ijma’
5). Mengetahui Qiyas
dan berbagai persyaratannya serta istinbathnya
6). Mengetahui bahasa
Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
problematikanya
7). Mengetahui ushul
fiqh yang merupakan fondasi dari Ijtihad.
8). Mengetahui
maqoshidu asy-syariah (tujuan syariah) secara umum, atau rahasia
disyariatkannya suatu hukum.
E.
Objek Ijtihad
Menurut Imam Ghazali,
objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qoth’i.
Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua
bagian.
1). Syariat yang tidak
boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti
kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan
lain-lain.
2). Syariat yang bisa
dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang
bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para
ulama.
F.
Hukum Melakukan Ijtihad
1). Fardhu ain : bila
ada permasalahan yang meminta dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari
ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
Juga dihukumi fardhu
ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
2). Fardhu kifayah :
jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis
waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid
3). Sunnah : apabila
ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik di tanya atau tidak
4). Haram : apabila
ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qoth’i, sehingga
hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil syara’.
G.
Tingkatan Mujtahid
1). Mujtahid mustaqil :
adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat
sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.
2). Mujtahid mutlaq
ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil,
namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode
salah satu imam.
3). Mujtahid muqoyyad /
mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya
4). Mujtahid tarjih
adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi
mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui
dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan
mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5). Mujtahid fatwa :
adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu
menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan
qiyas.
2. ISTIHSAN
a. Pengertian
Secara etimologi
(lughawi/bahasa) istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih
baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih
baik”, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk
itu” (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005) Atau
menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A.
2009).
Dari arti lughowi diatas tergambar adanya seseorang yang
menghadapi kedua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk
meninggalkan atau diantaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi,
karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkannya.
Tidak tedapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam
mempergunakan lafal istihan banyak dijumpai dalam al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw.
Misalnya, dalam surat
al-Zumar, 39: 18 Allah berfirman,
الَّذِيْنَ
يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ
“orang yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya...”
Kemudian dalam sebuah
riwayat dari Abdullah ibn Mas’ud Rosulullah saw bersabda:
مَا
رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Sesuatu yang dipandang
baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
Adapun pengertian isthisan secara istilah ada
beberapa defiisi “istihsan” yang dirumuskan ulama Ushul. Diantara definisi
itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi
yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam
pengamalannya. Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat
kebaikan, yakni memnghitung-hitung sesuatu dan mengangapnya kebaikan (Kamus
Lisan Arab dalam Drs. H. Nasroen Haroen, M. A ).
B. Kehujjahan Istihsan
Terdapat pebedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam
menetapkan istihsan sabagai salah satu metode atau dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama
Hanabilah, istihsan merupakan dalil yan kuat dalam menetapkan hukum
syara’. Alasan mereka adalah:
a)
Ayat-ayat yang
mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempatan dari umat manusia , yaitu
firman Allah dalam surat al Baqarah, 2: 185, yang berbunyi,
....Allah mengendaki
kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu.....
Dalam surat az Zumar,
39:55, Allah berfirman:
Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu...
b)
Rosulullah dalam
riwayatnya Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
مَا
رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Sesuatu yang dipandang
baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal).
c)
Hasil penelitian
dari berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yan terperinci
menunjukkan bahwa memberlakukan hukum dengan sesuai kaidah umum
dari qiyasadakalanya membawa kesusahan bagi umat manusia, sdangkan
syari’ar islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia,
Oleh sebab itu, apabila
seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum
atau qiyas tidak diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah
lain yang akan dapat memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia.
Ulama Syafi’iyyah,
Zhahiriyyah. Syi’ah dan Mu’tazilah tidak menerima istihsansebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ (Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A.
2015).
Alasan mereka,
sebagaimana yang dikemukakan Imam al-Syafi’i, adalah :
1)
Hukum-hukum
syara’ itu ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau Sunnah) dan
pemahaman terhadap nash melalui
kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan
pulaqiyas.
2)
Sejumlah ayat
telah menuntut umat Islam untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya dan
melarang secara tegas mengikuti hawa nafsu. Dalam berbagai persoalan yang
dihadapi manusia, Allah memerintahkan mereka untuk merujuk al-Qur’an dan Sunnah
sebagaimana yang dijumpai dalam surat al-Nisa, 4:59
Istihsan, menurut Imam
al-Syafi’i tidak termasuk dalam al-Quran atau Sunnah.
a)
Istihsan adalah
upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu saja .
b)
Rasulullah saw.
Tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan.
c) Rasulullah saw.
telah membantah fatwa sebagian sahabat yang berada didaerah ketika mereka
menetapkan hukum berdasarkan istihsan (sangkaan baik) mereka.
d)
Istihsan tidak
mempunyai kriteria dan tolok ukur yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
C. Pengaruh Istihsan dalam
Masalah Fiqh
Di
bawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang
pengaruh istihsan dalam masalah Fiqih :
1)
Lelaki yang
Menghadapi Perempuan dalam Shalat
Beberapa pendapat ,
mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjama’ah berada tepat
pada barisan laki-laki atau laki-laki yang melaksanakan shalat berjama’ah tepat
berada pada barisan perempuan. (Drs. H. Nasroen Haroen, M. A)
a. Abu
Hanifah dan sahabat-sahabatnya.
Apabila
dihadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya sama-sama dalam
satu shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia
bertekad atau niat menjadikannya (perempuan) sebagai imam. Alasannya karena
berdasarkan perintah dai Rosulullah untuk mendahulukan laki-laki dan
mengakhirkan perempuan dalam shalatnya, karena apabila laki-laki
diakhirkan atau shalatnya menghadap kepada perempuan maka ia dianggap
tertinggal shalat fardhu dan shalatnya pun menjadi rusak . perintah yang
dimaksud adalah sabda rosulullah SAW yang berbunyi:”Akhirkanlah mereka
perempuan seperti halnya Allah mengakhirkannya”.
b. Imam
yang bertiga ( Malik,Asy-Syafi’I dan Ahmad),
Dalam
kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (dibelakang)
laki-laki adalah makruh. Hal ini beralasan karena, mereka
menganalogikkan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi
diluar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut ijma’. Hal tersebut
didasari oleh praktek yang dilakukan oleh Rosulullah SAW, yaitu ketika
Rosulullah sedang shalat sementara ‘Aisyah tertidur dihadapannya.
c. Dalam
Kitab Al-Umm dan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughmi
Imam Syafi’i,
menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum kepada seorang laki-laki dan
kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut berdiri dibelakang imam,
dan laki-laki berada dibelakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri
disamping imam, kemudian laki-laki itu bermakmum kepadanya dan ia berada di
samping perempuan tersebut maka shalat bagi perempuan, laki-laki, dan imam
tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu diantara mereka tidak
rusak.
Alasannya ketika
Rosulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang ‘Aisyah berbaring antara
beliau dan arah kiblat seperti berbaringnya jenazah.
2)
Zakat Seluruh
Harta tanpa Niat
Para ulama sepakat bahwa tidak diperboleh kan
melaksanakan zakat tanpa dibarengi dengan niat untuk memisahkan ukuran yang
wajib dizakati. Akan, tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapakah
diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat.(
Drs. H. Nasroen Haroen, M. A).
a. Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat
bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Jika seorang menyedekahkan (menzakatkan)
seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat tersebut tidak
gugur.
Alasannya karena orang tersebut belum berniat dengan apa
yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib. Maka zakatnya tidak
gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu ketika seorang
melakukan shalat seperti apa yang ia kehendaki dan ia tidak berniat shalat
fardu atas shalatnya itu maka, shalatnya itu tidaklah gugur sebelum ia
melakukan shalat dengan niat shalat fardhu.
b. Ibnu Qudammah,
mengatakan walaupun hukum seorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah
sunah, tetapi jika ia tidak berniat zakat maka ia tetap tidak mendapatkan
pahala. Hal tersebut sama halnya dengan apabila seseorang melakukan shalat 100
reka’at tanpa menentukan niat bahwa shalat itu adalah shalat fardhu atau
sunnah.
c. Abu Hanifah dan
rekan-rekannya, berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur.
Alasan mengenai gugurnya kewajiban itu
adalah Istihsan. Hal ini berdasarkan qiyas, kewajiban tersebut tidak
gugur, karena sunah dan fardu keduanya merupakan syari’at. Oleh karena itu,
harus ditentukan sama seperti shalat.
3. MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian
1)
Pengertin secara
Bahasa
Secara etimologis “Maslahah Mursalah” terdiri atas dua
suku kata yaitu maslahah dan
mursalah. Al maslahah
adalah bentuk mufrad dari al mashalih.
Maslahah berasal
dari kata حﻼﺻ dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti
kata berarti “baik” lawan kata dari “buruk” atau “rusak”. adalah mashdar dengan
arti kata shalāh yaitu
“manfaat” atau “terlepas
dari padanya kerusakan.”
Kata maslahah inipun
telah menjadi bahasa
Indonesia yang berarti “Sesuatu
yang mendatangkan kebaikan“. Adapun pengertian maslahah dalam bahasa Arab
berarti “perbuatan-perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam arti yang umum adalah segala
sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik
dalam arti menarik
atau menghasilkan seperti
menghasilkan keuntungan atau ketenangan; atau dalam arti menolak atau
menghindarkan seperti menolak
kemudharatan atau kerusakan. Jadi, setiap yang mengandung manfaat patut disebut
maslahah. :
Sedangkan kata
al-Mursalah adalah isim maf’ul
(objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata
dasar yang tiga huruf) yaitu رسل dengan penambahan “alif” di pangkalnya,
sehingga menjadi ا
رسل, yang berarti
“terlepas” atau “bebas” (dari kata muthlaqah).
Bila kata “maslahah” digabungkan dengan “mursalah”, maka secara bahasa
berarti “kemaslahatan yang terlepas/bebas dari keterangan yang menunjukkan
boleh atau tidaknya dilakukan”.
2)
Pengertian secara istilah
Maslahah mursalah menurut
Imam Malik sebagaimana hasil analisis Al-Syatibi, adalah suatu maslahah yang
sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara yang berfungsi untuk
menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat (primer) maupun
hajjiyat (sekunder).
Menurut Abu Nur Zuhair,
Maslahah Mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tapi belum tentu
diakui atau tidaknya oleh syara.
Menurut Abu Zahrah,
maslahah mursalah adalah maslahah yang sesuai dengan maksud maksud pembuat
hukum (Allah) secara umum, tapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi
bukti diakui atau tidaknya.
Menurut al-Ghazali,
maslahah mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash
syara yang tidak merupakan dalil
tambahan terhadap nash syara, tapi ia tidak keluar dari nash syara.
Muhammad Muslehuddin
mengartikan maslahah mursalah adalah kepentingan bersama yang tidak
terbatas, atau kepentingan yang tidak ada ketentuannya. hal ini berangkat dari
teori Imam Malik bahwa konsep syari’ah itu ada untuk kepentingan bersama, maka
sesuatu yang memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan bersama adalah
merupakan salah satu sumber syariah. Sumber baru inilah yang dinamakan al
maslahah al mursalah.
Walaupun para ulama
berbeda-beda dalam memandang maslahah mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu
setiap manfaat yang didalamnya terdapat tujuan syara secara umum, namun tidak
terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Hal yang membedakan antara
Qiyas dan Maslahah mursalah adalah Qiyas berangkat dari illat (alasan utama
suatu nash) sedangkan maslahah mursalah berangkat dari hikmah. Hikmah adalah
perbuatan yang arif yang mempunyai manfaat syari’ah secara sosial. Abdul Wahab Khallaf memberi contoh simpel
yang berkaitan dengan keringanan mengqadla shaum ramadhan pada bulan lain jika
shafar atau sakit. Kondisi Shafar dan sakit adalah illat sedangkan keringanan
dari sebuah kesulitan adalah hikmah.
Maslahah
mursalah dalam beberapa literatur ada yang menyebutnya “munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan “al-Istishlah” dan “al-isti’dal al-mursal”.
Coba perhatikan kemaslahatan yang berhubungan dengan pembuatan akte nikah,
1. Sah tidaknya sebuah ikatan perkawinan adalah dengan ditetapkan atau
dikeluarkannya akta nikah. Proses ini disebut al-Istishlah (menggali dan
menetapkan maslahah) istilah ini digunakan al Ghazali dalam kitabnya al-Mustasyfa,
sedangkang al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyebutnya dengan istilah al-isti’dal
al-mursal.
2. Akte Nikah mengandung tujuan menjaga status keturunan, tetapi sifat
kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Maka hal ini disebut al
manasib al mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dari
dalil syara’ yang khusus). Istilah ini yang digunakan oleh Ibnu Hajib dan Qadhi
al-Baidhawi.
3. Akte nikah pada masa sekarang sangat penting dimiliki karena mengandung
berbagai kemaslahatan, tetapi kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil
yang menunjukkan pentingnya pembuatan akta nikah. maka dari sisi ini bisa
disebut al maslahah al mursalah (maslahah yang terlepas dari dari dalil
khusus, tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam).
B. SYARAT-SYARAT MASLAHAH
MURSALAH
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah adalah
ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik
mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu, :
1). Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil
yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah).
Dengan adanya persyaratan ini berarti
maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil yang lain, atau bertentangan
dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat
yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu tidak
asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2). Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai
sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya
diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3). Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka
menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam
pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil,
niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
“Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Dan al-Baqarah ayat 185,
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
Syarat-syarat
di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan
sumber dalil ini (maslahah mursalah) terserabut dari akarnya (menyimpang dari
esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum
yangdipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahah Mursalah.
C. LAPANGAN (OBJEK) MASLAHAH MURSALAH
Lapangan atau
ruang lingkup penerapan
maslahah mursalah
selain yang berlandaskan pada hukum syara secara umum, juga harus
diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lainnya, dengan
kata lain maslahah mursalah hanya meliputi kemaslahatan yang berhubungan dengan
muamalah.
Sedangkan masalah ibadah
bukanlah termasuk dalam lapangan tersebut. Alasannya karena maslahah mursalah
didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan
akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadah.
Segala bentuk perbuatan
ibadah ta’abuddi dan tawqifi, artinya kita hanya mengikuti
secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i
dalam nash, dan akan sama sekali
tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Misalnya mengenai shalat dhuhur empat rakaat dan dilakukan
setelah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar
wilayah ibadah, meskipun
diantaranya ada yang
tidak dapat diketahui alasan hukumnya, namun secara
umum bersifat ta’aqquli (rasional) dan oleh karenanya dapat dinilai baik dan
buruknya oleh akal. Umpamanya minum khamr itu
adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat
bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.
D. CONTOH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH
Contoh-contoh
penerapan atau penggunaan maslahah mursalah antara lain:
1). Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar
ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama
pengganti nabi untuk
memimpin umat dalam meneruskan tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan
berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang khalifah
sangat dibutuhkan pada
saat itu, dan
ini merupakan suatu maslahat yang sangat besar, namun hal
ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks syariat yang membenarkan atau
menyuruh atau membatalkannya (melarang).
2). Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan
al-Quran kedalam beberapa mushaf.
Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka malakukan
pengumpulan pengumpulan itu tidak lain
kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atan kehilangan kemutawatirannya karena
meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi sahabat.
3). Produk-produk hukum para Ulama saat ini, maka akan didapatkan
bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan maslahah mursalah, seperti fatwa-fatwa
Majelis Ulama Indonesia, misalnya,
fatwa tentang keharusan
“sertifikat halal” bagi produk
makanan, minuman dan
kosmetik. Majelis Ulama
Indonesia melalui lembaga
pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya melakukan
penelitian terhadap produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang
diproduksi oleh suatu pabrik untuk dipasarkan. Hal yang seperti ini tidak
pernah ada teks nash yang
menyinggungnya secara langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik
sekali dan hal ini merupakan langkah positif dalam melindungi umat Islam dari makanan minuman,
obat-obatan serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, dan masih banyak
lagi hal yang lainnya.
4). Begitu pula dengan
hal bunga bank, tidak disebutkan hukumnya dalam al Quran dan al-Hadits.
Mayoritas ulama menetapkan bunga bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba karena menurut
mereka unsur tambahan yang menjadi
illat haramnya
riba juga terdapat pada bunga bank.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, bank sudah merupakan
suatu hal
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bank dengan segala konsekuensinya telah menjadi
bagian dari kehidupan
masyarakat modern yang
tidak mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan yang
ada sekarang ini dapat menjadi sarana tolong-menolong sesama
umat manusia karena
hampir semua masyarakat modern saat
ini berkepentingan dengan
bank, baik untuk
menjadi meminjam
uang, menabung, membayar rekening listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang,
bahkan untuk mengirimkan bantuan
berupa uang untuk
korban-korban bencana alam
yang akhir-akhir ini sering
menimpa negara kita.
Dan hampir semua orang
telah merasakan manfaat dalam
berhubungan dengan bank.
Mereka yang
meminjam uang merasa
mendapatkan kemudahan dari
bank demikian juga mereka yang mempunyai uang, dapat menabung di bank
dan mendapatkan keuntungan yang wajar berupa bunga dari uang tabungannya dan
tentu saja, rasa aman.
Kalaupun ada sebagian umat yang merasa kurang nyaman dengan bank
konvensional dengan bunganya, masih ada jalan keluarnya, yaitu bank syariah
yang saat ini
mulai menjamur dan
menjadikan bagi hasil
sebagai pengganti bunga, dengan
segala fasilitas yang
tidak kalah lengkap
dengan bank konvensional.
Dalam
keadaan demikian, fuqaha meninggalkan
hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan
menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode maslahah mursalah.
Praktek perbankan yang tidak mengandung zhulum
malahan menjadi
sarana untuk saling tolong menolong sesama manusia dan hal ini sangat sesuai dengan maqashid syariah ammah.
5). Kesaksian anak-anak yang belum baligh
atas dasar kemaslahatan dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam satu perkara, walaupun tidak ada
ketetapan syara’. Syariat hanya mengisyaratkan bahwa kesaksian hanya
sah dari seorang yang dewasa. Kasus-kasus
penganiayaan yang terjadi dikalangan anak-anak, yang sulit mencari persaksian orang dewasa, maka dalam hal ini
persaksian anak-anak dapat menjadi bahan
pertimbangan.
6). Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan
“untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan
batas-batas umur untuk perkawinan” [8][24]
. Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19
tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan
keluarga dan rumahtangga [9][25].
Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun melarang umat
islam menikah pada usia tertentu.
7). Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan
dalam UU No. 11 tahun 1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya demi
tercapainya kemaslahatan. Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban
menggunakan barang tambang sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia [10][26].
Dalam sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang
kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana
pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang
sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada
pelarangan monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak
disebutkan kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh
negara/pemerintah [11][27].
Bila diperhatikan
produk-produk hukum yang
dihasilkan oleh para sahabat,para ulama dan pemerintah Indonesia semuanya adalah merupakan
hasil ijtihad dengan pertimbangan maslahah
mursalah meskipun mereka tidak menggunakan istilah tersebut.
E. PRO KONTRA dan PENDAPAT
ULAMA TERHADAP MASLAHAH MURSALAH
Para ulama yang pro
terhadap maslahah mursalah diantaranya Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi
dengan argumen sebagai berikut :[12][28]
1). Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn
Jabal yang akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat
Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad
ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi
sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2). Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang
walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu
keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti,
pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang tidak
membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat
kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab. Penyatuan cara baca (qira’at)
Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali jaman Ustman ibn Affan.
3). Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan
telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah
tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya.
4). Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum
tidak boleh menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat
dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan
kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185. Nabi pun menghendaki
umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu
Zahrah, Imam Malik dan golongan Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai
sumber hukum selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab
pada hakekatnya, keberadaan maslahat adalah dalam rangka merealisasikan maqasid
as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara langsung tidak terdapat
nash yang menguatkannya.
Para ulama yang kontra
atau menolak maslahah mursalah sebagai metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i,
al-Ghazali dan para pengikutnya yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai
metoda ijtihad. Alasan utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah
sudah terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi
permasalahan yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja.
Sebaliknya jika ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash Qur’an
dan Sunnah, maka artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu tidak sempurna
atau tidak lengkap. Dan ini tentu saja bertentangan dengan al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah memberikan
argumentasi sebagai berikut :
1). Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang
membenarkannya (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin
disebut maslahah, dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti
mengakui kurang lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2). Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa
kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa
nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami. Keberatan
al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia tidak ingin
melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang
berat dalam menetapkan suatu hukum.
3). Penggunaan maslahah dalam berijtiha[13]d tanpa
berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum
sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu
saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4). Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang
pada nash akan memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring
perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal
ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta
meliputi semua umat Islam.
4. AL-ISTISHHAB
a. Pengertian
Asyaukani menta’rifkan
istishhab yaitu : “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”.
Jadi, hukum yang telah
ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada Dalil
lain dan merubah hukum
tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus
demikian keadaanya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Contoh tentang
Istishhab adalah sebagai beikut :
1). Apabila telah jelas
adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena
membeli , warisan, hibbah, atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung
sehingga ada bukti-bukti lain yag menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang
lain.
2). Orang yang hilang
tetap dianggap hidup sehingga ada buku atau tanda-tanda lain yang menunjukkan
bahwa dia meninggal dunia.
3). Seorang yang telah
menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain
bahwa dia mennggal dunia.
Istishhab menurut
harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama
ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat
dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang
telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai
terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
b. Pendapat ‘Ulama tentang Istishhab
‘Ulama Hanafiah menetapkan bahwa Istishhab merupakan Hujjah untuk
menetapakan apa-apa yang di maksud oleh mereka. Jadi Istishhab merupakan
ketetapan sesuatu yang telah ada semula
dan juga mempertahan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas
perbedaannya.
c. Kehujjahan
Istishhab
Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan istishhab ketika tidak
ada dalilsyara’ yang menjelaskan, antara lain:
a). Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam) Istishhab
tidak dapat di jadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada
masa sekarang dan masa yang akan datang, harus berdasarkan dalil.
b). Menurut mayoritas ‘Ulama hanafiyah, khususnya
muta’akhirin istishhab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah
ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan
datang, tetapi tidakbisa menetapkan hukum yang akan ada.
C). ‘Ulama malikiyyah, syafi’iyah, hanabilah, zahriyyah dan
syi’ah berpendapat bahwa istishhab bisa dijadikan hujjah secara mutlaq untuk
menetapkan hukum yang telah adaselama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya mereka adalah bahwa sesuatu yang tlahditetapkan pada masa lalu,
selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’i maupun zhanni, maka
hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada
perubahannya.
5. URF
a. Pengertian
Urf
Arti ‘urf secara
harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Dikalangan
masyarakat, urf ini sering disebut sebagai adat.
Pengertian
diatas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’.
Diantara contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling
pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat.
Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian
tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan,
dan juga tentang meng-itlak-kan lafadzh al-lahm yang bermakna
daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan
demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia
atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya ataupun
kekhususannya. Maka ‘urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’
merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahid secara khusus.
Urf
merupakan sau sumber yang diambil oleh madzhab Hanafy dan Maliky, yang berada
di luar lingkup nash. Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan
kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg
(konstan) ditengah masyarakat.
b.
Macam-macam urf
Para ulama ushul fiqh membagi urf dalam tiga macam :
1). Dari segi objeknya urf dibagi dalam: al-urf
al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-urf al-amali
(kebiasaan yang berbentuk perrbuatan).
a.
Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya,ungkapan daging
yang berarti dagig sapi: padahal kata daging mencakup seluruh daging
yang ada. Apabia seseorang mendatangi penjual daging, yang menjual
bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu
kilogram “ pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging
sapi.
b.
Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperpadatan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah
perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah
kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu.
Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang
dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjual, apabila barang yang dibeli
itu berat dan besar, seperti kulkas dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa
dibebani biaya tambahan.
2). Dari segi cakupannya urf terbagi dua, yaitu al-urf
al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan
yang bersifat khusus).
a. Al-urf al’am adalah kebiasaan tertentu yang
berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad
sendiri, dan biaya tambahan.
b. Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku
didaerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila
terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan
untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan.
3). Dari segi keafsahannya dari pandang syara’ urf
tebagi dua: al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf
al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-urf al-shahih adalah kebiasaan yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat
atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa
mudharat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.
b. Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam
syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan
riba, seperti peminjam uang antar sesama pedagang.
c.
Hukum Urf
Adapun
‘urf yang shahih, maka ia wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam
peradilan. Sesorang mujtahid haruslah memperlihatkan tradisi dalam pembentukan
hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena
sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah
biasa mereka jalani, maka hal ini telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka
dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia
tidak bertentangan dengan syara’ , maka wajib diperhatikan. Syari’ telah memelihara
terhadap tradisi bangsa Arab dalam pembentukan hukumnya. Misalnya, kewajiban
diyat (denda) atas calon keluarganya (‘aqilah : keluarga kerabatnya dari puihak
ayah, atau ‘ashabahnya), kriteria kafaah (kesetarafan) dalam perkawinan, dan
pengakuan ke’ashabahan dalam kewajiban dan pembagian harat warisan.
Oleh karena itulah maka
ulama berkata : “adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai
hukum”.
Urf
mendapat pangkuan didalam syara’. Imam banyak mendasarkan hukumnya atas amal
perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat
mengenai sejumlah hukum berdasarkan perbedaan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika
turun ke Mesir, maka ia merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya
ketika ia berada di Baghadad, karena perubahan ‘urf. Karena ini pulalah, maka
ia mempunyai dua mazhab, yaitu :
- Mazhab lama, dan
- Mazhab baru
Demikian
pula didalam fiqh mazhab Hanafiyah terdapat sejumlah hukum yang didasarkan atas
‘urf. Diantaranya ialah : apabila dua orang yang saling dakwa-mendakwa berbeda
pendapat dan tidak ada bukti pada salah seorang dari mereka, maka perkataan
orang yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh ‘urf.
Apabila suami istri tidak sepakat atas muhar yang
harus didahulukan dan mahar yang diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang
diputuskan adalah kebiasaan.
Barang siapa yang bersumpah tidak akan memakan daging,
kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya, atas dasar
kebiasaan (‘urf).
Benda yang dapat dipindah-pindahkan sah untuk
diwakafkan apabila ‘urf tentang hal itu berlaku. Persyaratan dalam perjanjian
adalah sah apabila ada pengakuan oleh syara’, atau dikehendaki oleh perjanjian
itu sendiri, atau diberlakukan oleh ‘urf.
Almarhum al-‘allamah Ibnu ‘Abidin telah menyusun
sebuah risalah yang ia namakan :
(penyebaran ‘urf dalam hukum yang didasarkan atas
‘urf)
Diantara ungkapan yang terkenal ialah :
“Sesuatu yang dikenal
sebagai adat kebiasaan adalah seperti sesuatu yang dipersyaratkan sebagai
syarat, dan sesuatu yang tetap berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang
tetap berdasarkan nash”.
Adapun
‘urf yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka ia tidak wajib diperhatikan,
karena memperhatikannya berarti bertentangan dengan dalil syar’i, atau
membatalkan hukum syar’i. Maka, apabila manusia telah terbiasa mengadakan suatu
perjanjian yang termasuk diantara perjanjian yang fasid, seperti perjanjian
yang bersifat riba atau perjanjian yang mengandung penipuan atau bahaya, maka
‘urf ini tidak mempunyai pengaruh terhadap pembolehan perjanjian tersebut. Oleh
karena inilah, maka dalam undang-undang yang dibuat, ‘urf yang bertentangan
dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. ‘urf hanyalah dilihat dalam
perjanjian seprti ini dalam segi lain, yaitu : “sesungguhnya perjanjian itu
apakah termasuk kondisi darurat manusia atau termasuk dari kebutuhan mereka,
dimana apabila akad itu dibatalkan, maka struktur kehidupan mereka akan rusak,
atau mereka akan memperoleh keberatan dan kesempita ataukah tidak?” jiaka akad
tersebut termasuk kondisi darurat mereka atau kebutuhan mereka, maka ia
diperbolehkan. Karena sesungguhnya darurat memperbolehkan hal-hal yang
terlarang. Sedangkan kebutuhan ditempatkan pada tempat darurat pada masalah
ini. Akan tetapi jika ia tidak termasuk kondisi darurat mereka dan tidak pula
termasuk kebutuhan mereka, maka ia diputuskan kebatalannya, dan tidak diakui
adanya ‘urf itu.
d.
Kehujjahan Urf
Mengenai kehujjahan ‘urf terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama ushul fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari
mereka.
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa ‘urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum.
Alasan mereka ialah firman Allah SWT yang artinya:
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.( QS.Al A’raf: 199 ).
Ayat ini bermaksud bahwa ‘urf ialah kebiasaan manusia,
dan apa-apa yang mereka sering lakukan ( yang baik ).
2. Golongan Syafi’iyah dan Hambaliyah,
keduanya tidak menganggap ‘urf itu sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.
Para uluma juga sepakat menyatakan bahwa ketika
ayat-ayat Al Qur’an di turunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan
yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
6. Syar’u Man Qablana
A. Pengertian
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum
islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa,
Nabi Isa as.
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana
dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
ياَاَيُّهَا
الَّذِينَ أَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).
B.
Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama
Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam
Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam
itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan
melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash
yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu.
Alasan yang di kemukakan adalah:[2]
1. Pada
dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena
itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam
Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا
وَالَّذِي أَوحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَا وَمُوسَ
وَعِيْسَ أَنْ أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى
اْلمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِيْ إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ
وَيَهْدِى إِلَيْهِ مَنْ يُنِيْبُ
“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).” (QS.
As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh
mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
ثُمَّ أَوْ حَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِحْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah
agam Ibrahim yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).
7. Madhab Sahaby
A . Madhab Shahaby
Yang dimaksud dengan mazhab
sahabat ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus
dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah. Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang
dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat islam dan membentuk
hukum. Hal ini karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW.
dan telah memahami Al-Quran serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar
fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in
dan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa
mereka. Diantara mereka ada yang mengklasifikasikannya bersama sunah-sunah
Rasul, sehingga fatwa –fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum
yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan
suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas,
kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas
nama umat islam.
B. Kehujjahan
Mazhab Sahabat
Dari uraian di atas, tidak
diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat
islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat
mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW. seperti uacapan Aisyah;
“Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun,
menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan di atas
tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya
benar-benar dari Rasulullah SAW. maka dianggap sebagai sunah meskipun pada
dzahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang
tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat islam.
Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman
Rasulullah SAW. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at
dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qathi’.
Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat
bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak mengetahui
adanya perselisihan dari umat islam.
Adanya perselisihan
biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri
sebelum ada kesepakatan dari sahabat lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan
tersebut dan berkata, “Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan
sunah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya
meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar
dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya”.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum
sutau kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di
antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan
sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk
menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk
mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat
ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa
dari dosa).
Selain itu para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. dengan
demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka
tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi
fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang sepakati oleh para
ulama’ dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qiyas
pada sebagiannya.
KESIMPULAN
1.
Dalil, yakni
landasan hukum, seperti pertanyaan para ulama ushul Fiqih bahwa ashl dari
wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2.
Qa’idah, yaitu
dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW. :
Artinya:
“islam
itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.
Rajih, yaitu
yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya:
“Yang
terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
4.
Mustashhab,
yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil
yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan
haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus
dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia teteap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
5.
Far’u (cabang),
seperti perkataan ulama ushul:
Artinya:
“anak
adalah cabang dari ayah.” (Al-Ghazali, 1 : 5)
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2015
Komentar
Posting Komentar