Jilbab
Saudariku, Apa
Yang Menghalangimu Untuk Berhijab
Oleh :Syaikh
Abdul Hamid Al Bilaly
“Dan demi jiwa serta penyempuraannya (ciptaannya), maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Asy
Syams:7-8)
Manusia
diciptakan oleh Allah dengan sarana untuk meniti jalan kebaikan atau jalan
kejahatan. Allah memerintahkan agar kita saling berwasiat untuk mentaati
kebenaran, saling memberi nasihat di antara kita dan menjadikannya di antara
sifat-sifat orang yang terhindar dari kerugian. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al ‘Ashr,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa kewajiban kita
terhadap sesama adalah saling menasihati. Beliau bersabda :
“Orang mukmin adalah cermin bagi orang mukmin
lainnya.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al
Autsah dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shah Jami’ush Shaghir, hadits
no. 6531)
Dengan
kata lain, seorang mukmin bisa menyaksikan dan mengetahui kekurangannya dari
mukmin yang lain sehingga ia laksana cermin bagi dirinya. Tetapi cermin ini
tidak memantulkan gambar secara fisik melainkan memantulkan gambar secara
akhlak dan perilaku. Islam juga sebagaimana dalam banyak hadits, menganjurkan
dan mengajak pemeluknya agar sebagian mereka mencintai sebagian yang lain.
Diantara pilar utama dari kecintaan ini, hendaknya engkau berharap agar
saudaramu masuk Surga dan dijauhkan dari Neraka. Tak sebatas berharap, namun
engkau harus berupaya keras dan maksimal untuk menyediakan berbagai sarana yang
menjauhkan saudaramu dari hal-hal yang membahayakan dan merugikannya, di dunia
maupun di akhirat.
Hal-hal
di atas itulah yang melatar belakangi buku sederhana ini kami hadirkan. Selain
itu, kecintaan dan rasa kasih sayang kami kepada segenap remaja putri di
seluruh dunia Islam. Tentu juga keinginan kami untuk menjauhkan mereka dari
bahaya dan kerugian di dunia maupun di akhirat.
Lebih
khusus, buku ini kami hadirkan untuk segolongan kaum muslimah yang belum
mentaati perintah berhijab (Hijab : Maksudnya busana wanita muslimah yang
menutupi seluruh bagian tubuhnya dari kepala hingga telapak kaki, hijab
tersebut mempunyai syarat-syarat tertentu seperti yang diperintahkan syari’at)
baik karena belum mengetahui bahwa hijab adalah wajib karena tidak mampu
melawan tipu daya dan pesona dunia, karena takluk di hadapan nafsu yang
senantiasa memerintahkan keburukan atau tunduk oleh bisikan setan, karena
pengaruh teman yang tidak suka kepada kebaikan bagi sesama jenisnya atau karena
alasan-alasan lain.
Kami
memohon kepada Allah semoga uraian dalam buku sederhana ini menjadi pembuka
hati yang terkunci, menggetarkan perasaan yang tertidur, sehingga bisa
mengembalikan segenap akhwat yang belum mentaati perintah berhijab, kepada
fitrah yang telah diperintahkan Allah Subhanahu Wata’ala.
SYUBHAT DAN SYAHWAT
Setan bisa masuk kepada manusia melalui dua pintu tama,
yaitu syubhat dan syahwat. Seseorang tidak melakukan suatu tindak maksiat
kecuali dari dua pintu tersebut. Dua perkara itu merupakan penghalang sehingga
seorang muslim tidak mendapatkan keridhaan Allah, masuk surga dan jauh dari
Neraka. Di bawah ini akan kita uraikan sebab-sebab utama dari syubhat dan
syahwat.
I. SYUBHAT PERTAMA : MENAHAN GEJOLAK SEKSUAL
Syubhat ini menyatakan, gejolak nafsu seksual pada
setiap manusia adalah sangat besar dan membahayakan. Ironinya, bahaya itu
timbul ketika nafsu tersebut ditahan dan dibelenggu. Jika terus menerus
ditekan, ia bisa mengakibatkan ledakan dahsyat.
Hijab wanita akan menyembunyikan kecantikannya,
sehingga para pemuda tetap berada dalam gejolak nafsu seksual yang tertahan,
dan hampir meledak, bahkan terkadang tak tertahankan sehingga ia lampiaskan
dalam bentuk tindak perkosaan atau pelecahan seksual lainnya.
Sebagai pemecahan masalah tersebut, satu-satunya
cara adalah membebaskan wanita dari mengenakan hijab agar para pemuda
mendapatkan sedikit nafas bagi pelampiasan nafsu mereka yang senantiasa
bergolak di dalam. Dengan demikian, hasrat mereka sedikit bisa terpenuhi.
Suasana itu lalu akan mengurangi bahaya ledakan gejolak nafsu yang sebelumnya
tertahan dan tertekan.
1.
Bantahan
Sepintas, syubhat di atas secara lahiriah nampak logis dan
argumentatif. Kelihatannya, sejak awal, pihak yang melemparkan jalan pemecahan
tersebut ingin mencari kemaslahatan bagi masyarakat dan menghindarkan mereka
dari kehancuran. Padahal kenyataannya, mereka justru menyebabkan bahaya yang
jauh lebih besar bagi masyarakat, yaitu menyebabkan tercerai-berainya
masyarakat, kehancurannya, bahkan berputar sampai seratus delapan puluh derajat
pada kebinasaan.
Seandainya
jalan pemecahan yang mereka ajukan itu benar, tentu Amerika dan Negara-negara
Eropa serta Negara-negara yang berkiblat kepada mereka akan menjadi negara yang
paling kecil kasus perkosaan dan kekerasannya terhadap kaum wanita di dunia,
juga dalam kasus-kasus kejahatan yang lain.
Amerika dan negara-negara Eropa amat memperhatikan
masalah ini, dengan alasan kebebasan individual. Di sana, dengan mudah anda akan mendapatkan
berbagai majalah porno dijual di sembarang tempat. Acara-acara televisi,
khususnya setelah pukul dua belas malam, menayangkan berbagai adegan tak
senonoh, yang membangkitkan hasrat seksual. Bila musim panas tiba, banyak
wanita di sana
membuka pakaiannya dan hanya mengenakan pakaian bikini. Dengan keadaan seperti
itu, mereka berjemur di pinggir pantai atau kota-kota pesisir lainnya. Bahkan
di sebagian besar pantai dan pesisir, mereka boleh bertelanjang dada dan hanya
memakai penutup ala kadarnya. Terminal-terminal video rental bertebaran di
seluruh pelosok Amerika dengan semboyan “Adults Only” (khusus untuk orang
dewasa). Di terminal-terminal ini, anak-anak cepat tumbuh matang dalam hal
seksual sebelum waktunya. Siapa saja dengan mudah bisa menyewa kaset-kaset
video lalu memutarnya di rumah atau langsung menontonnya di tempat penyewaan.
Rumah-rumah bordil bertaburan di mana-mana. Bahkan di sebagian negara, memajang
para wanita tuna susila (pelacur) di etalase sehingga bisa dilihat oleh
peminatnya dari luar.
Apa
kesudahan dari hidup yang serba boleh (permisif) itu? Apakah kasus perkosaan
semakin berkurang? Apakah kepuasan mereka terpenuhi, sebagaimana yang ramai
mereka bicarakan? Apakah para wanita terpelihara dari bahaya besar ini?
2.
Data Statistik Amerika
Dalam sebuah buku berjudul “Crime in USA” terbitan
Pemerintah Federal di Amerika –yang ini berarti data statistiknya bisa
dipertanggungjawabkan karena ia dikeluarkan oleh pihak pemerintah, tidak oleh
paguyuban sensus- di halaman 6 dari buku ini ditulis :”Setiap kasus perkosaan
yang ada selalu dilakukan dengan cara kekerasan dan ini terjadi di Amerika setiap
enam menit sekali.”
Data ini adalah yang terjadi pada tahun 1988, yang
dimaksud dengan kekerasan di sini adalah dengan menggunakan senjata tajam.
Dalam buku yang sama juga disebutkan :
Pada tahun 1978 di Amerika terjadi sebanyak 147.389 kasus perkosaan.
Pada tahun 1979 di Amerika terjadi sebanyak 168.134 kasus perkosaan.
Pada tahun 1981 di Amerika terjadi sebanyak 189.045 kasus perkosaan.
Pada tahun 1982 di Amerika terjadi sebanyak 211.691 kasus perkosaan.
Pada tahun 1983 di Amerika terjadi sebanyak 211.764 kasus perkosaan.
Data statistik ini, juga data-data sejenis lainnya –
yang dinukil dari sumber-sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan –
menunjukkan semakin melonjaknya tingkat pelecehan seksual di negara-negara
tersebut. Tidak lain, kenyataan ini merupakan penafsiran empiris (secara nyata
dan dalam praktik kehidupan sehari-hari) dari firman Allah:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu…” (Al Ahzab : 59)
Sebab turunnya ayat
ini, --sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya – karena
para wanita biasa melakukan buang air besar di padang terbuka sebelum dikenalnya kakus
(tempat buang air khusus dan tertutup). Di antara mereka itu dapat dibedakan
antara budak dengan wanita merdeka. Perbedaan itu bisa dikenali yakni kalau
wanita-wanita merdeka mereka menggunakan hijab. Dengan begitu, para pemuda
enggan mengganggunya.
Sebelum turnnya ayat
ini, wanita-wanita muslimah juga melakukan buang hajat di padang terbuka tersebut. Sebagian orang-orang
durjana mengira kalau dia adalah budak, ketika diganggu, wanita muslimah itu
berteriak sehingga laki-laki tiu pun kabur. Kemudian mereka mengadukan
peristiwa tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga turunlah
ayat ini.
Hal ini menegaskan,
wanita yang memamerkan auratnya, mempertontonkan kecantikan dan kemolekan
tubuhnya kepada setiap orang yang lain lalang, lebih berpotensi untuk diganggu.
Sebab dengan begitu, ia telah membangkitkan nafsu seksual yang terpendam.
Adapan wanita yang ber-hijab maka dia senantiasa menyembunyikan kecantikan dan
perhiasannya. Tidak ada yang kelihatan daripadanya selain telapak tangan dan
wajah menurut suatu pendapat. Dan pendapat lain mengatakan, tidak boleh
terlihat dari diri wanita tersebut selain matanya saja.
Syahwat apa saja yang
bisa dibangkitkan oleh wanita ber-hijab itu? Instink seksual apa yang bisa
digerakkan oleh seorang wanita yang menutup rapat seluruh tubuhnya itu? Allah
mensyari’atkan hijab agar menjadi benteng bagi wanita dari gangguan orang lain.
Sebab Allah Subhanahu Wata’ala mengetahui, pamer aurat akan mengakibatkan
semakin bertambahnya kasus pelecehan seksual, karena perbuatan tersebut
membangkitkan nafsu seksual yang sebelumnya tenang.
Kepada orang yang
masih mempertahankan dan meyakini kebenaran syubhat tersebut, kita bisa
menelanjangi kesalahan mereka melalui empat hakikat :
=> Pertama, berbagai data
statistik telah mendustakan cara pemecahan yang mereka tawarkan
=> Kedua, hasrat seksual terdapat
pada masing-masing pria dan wanita. Ini merupakan rahasia Ilahi yang dititipkan
Allah pada keduanya untuk hikmah yang amat banyak, diantaranya demi
kelangsungan keturunan. Jika boleh berandai-andai, andaikata hasrat seksual itu
tidak ada, apakah keturunan manusia masih bisa dipertahankan? Tak seorang pun
memungkiri keberadaan hasrat dan naluri ini. Tetapi dengan tidak
mempertimbangkan adanya naluri seksual tersebut tiba-tiba sebagian laki-laki
diminta berlaku wajar di tengah pemandangan yang serba terbuka dan telanjang.
Amat ironis memang.
=> Ketiga, yang membangkitkan
nafsu seksual laki-laki adalah tatkala ia melihat kecantikan wanita, baik
wajah, atau anggota tubuh lain yang mengundang syahwat. Seseorang tidak mungkin
melawan fitrah yang diciptakan Allah (kecuali mereka yang dirahmati Allah),
sehingga bisa memadamkan gejolak syahwat-nya tatkala melihat sesuatu yang membangkitkannya.
=> Keempat, orang yang mengaku
bisa mendiagnosa nafsu seksual yang tertekan dengan mengumbar pandangan mata
kepada wanita cantik dan telanjang sehingga nafsunya akan terpuaskan (dan
dengan demikian tidak menjurus pada perbuatan yang lebih jauh, misalnya
pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya), maka yang ada hanya dua
kemungkinan :
○ Pertama, orang itu adalah laki-laki yang tidak
bisa terbangkitkan nafsu seksualnya meski oleh godaan syahwat yang bagaimana
pun (bentuk dan jenisnya), ia termasuk kelompok orang yang dikebiri kelaminnya
sehingga dengan cara apa pun mereka tidak akan merasakan keberadaan nafsunya.
○ Kedua,
laki-laki yang lemah syahwat atau impoten. Aurat yang dipamerkan itu tak akan
mempengaruhi dirinya. Apakah orang-orang yang membenarkan syubhat tersebut
(sehingga dijadikannya jalan pemecahan) hendak
memasukkan kaum laki-laki dari umat kita ke dalam salah satu dari dua
golongan manusia lemah di atas?
Na’udzubillah
min dzalik
B. SYUBHAT KEDUA : BELUM
MANTAP
Hal ini lebih tepat
digolongkan kepada syahwat dan menuruti hawa nafsu daripada disbut syubhat.
Jika salah seorang ukhti yang belum mentaati perintah berhijab ditanya, mengapa
ia tidak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab : “Demi Allah, saya
belum mantap dengan berhijab. Jika saya telah merasa mantap dengannya saya akan
berhijab, Insya Allah.”
Ukhti yang berdalih
dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal, yakni antara
perintah Tuhan dengan perintah manusia. Jika peritnah itu datangnya dari
manusia maka manusia bisa salah dan bisa benar. Imam Malik berkata : “Dan
setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan)
orang yang ada di dalam kuburan ini.” Yang dimaksudkan adalah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selagi masih dalam
bingkai perkatan manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerima.
Karenanya, dalam hal ini, setiap orang beisa berucap “belum mantap”, dan ia
tidak bisa dihukum karenanya.
Adapun jika
perintah itu salah satu dari perintah-perintah Allah,dengan kata lain Allah
yang memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal tersebut melalui
Nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada alasan bagi manusia
untuk mengatakan “saya belum mantap”.
Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan,
padahal ia mengetahui perintah tersebut ada di dalam kitab Allah Ta’ala, maka
hal tersebut bisa menyeretnya pada bahaya yang sangat besar, yakni keluar dari
agama Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab dengan begitu berarti ia
tida percaya dan mergukan kebenaran perintah tersebut. Karena itu, ia adalah
ungkapan yang sangat berbahaya.
Seandainya ia berkata:
“Aku wanita kotor”, “aku tak kuat melawan nafsuku”, “jiwaku rapuh” atau
“hasratku untuk itu sangat lemah” tentu ungkapan-ungkapan ini dan sejenisnya
tidak bisa disejajarkan dengan ucapan : “Aku belum mantap.” Sebab
ungkapan-ungkapan tersebut pengakuan atas kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan
dirinya. Ia tidak menghukumi dengan salah atau benar terhadap perintah-perintah
Allah secara semaunya. Juga tida termasuk yang mengambil sebagaian perintah
Allah dan mencampakkan yang lain. Alla berfirman yang artinya: “Dan tidaklah
patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab:36)
Sikap Yang Dituntut
Ketika seorang hamba
mengaku beriman kepada Allah, percaya bahwa Allah lebih bijaksana dan lebih
mengetahui dalam penetapan hukum daripada dirinya – sementara dia sangat miskin
dan sangat lemah—maka jika telah datang perintah dari Allah, tidak ada pilihan
lain baginya kecuali mentaati perintah tersebut. Ketika mengatakan sebagaimana
yang dikatakan orang-orang beriman yang artinya:
“…Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdo’a), ‘Ampunilah kami ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.’ (Al-Baqarah:285)
Ketika Allah
memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah
itu untuk kebaikan kita,dan salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan kita.
Demikian pula halnya dengan ketika memerintah wanita berhijab, Dia Maha
Mengetahui bahwa itu adalah salah satu sebab tercapainya
kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.
Allah Subhanahu Wata’ala
Maha Mengetahui, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu , mengetahui sejak sebelum
manusia diciptakan, juga mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang
dengan tanpa batas, mengetahui apa yang tidak akan terjadi dari berbagai
peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa tersebut terjadi, apa yang
bakal terjadi selanjutnya. Dengan kepercayaan seperti ini, yang
merupakan keyakinan umat Islam, apakah patut dan masuk akal kita menolak
perintah Allah Yang Maha Luas ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima perkataan
manusia yang memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas?
Contoh dari Kenyataan Sehari-hari
Sebagai contoh,
dapat kita kemukakan dari kenyataan
hidup sehari-hari. Bila kita membeli satu unit komputer sementara orang yang
merakitnya ada di dekat kita, dia mengerti betul bagaimana cara
mengoperasikannya, memahami dari A hingga Z seluk beluk alat canggih tersebut, maka logislah jika kita memanggil
tukang cuci mobil untuk mengajari kita cara pengoperasian komputer? Tentu
sangat tidak logis. Akal kita akan mengatakan, kita mesti memanggil ahli
komputer untuk mengajari bagaimana cara penggunaan alat tersebut, berikut cara
memperbaikinya jika terjadi kerusakan. Kita meyakini, yang menciptakan manusia
dan membentuknya adalah Tuhan manusia, yaitu Allah. Karena itu, sangat wajar
jika Allah yang lebih mengetahui tentang apa yang membahayakan dan memberi
manfaat manusia.
Dan jelaslah,
bertahkim, patuh dan menyerah kepada selain Allah adalah cermin ketidakwarasan,
kebodohan dan kedunguan. Kedunguan itu disebabkan karena kita patuh kepada
seseorang yang tidak mengetahui. Barangsiapa yang mengambil nasihat orang bodoh
berarti dia menggelincirkan dirinya pada kebinasaan.
Ironinya, inilah yang
terjadi pada kita kaum muslimin, betapa banyak kaum muslimin yang menunut
jawaban dari orang yang tidak mengetahuinya. Sebagaimana betapa banyak dari
kalangan kita yang tidak memahami bahwa yang dimaksud kata “Islam” adalah
menyerah, patuh dan tunduk secara total kepada perintah-perintah Allah dan
larangan-larangan-Nya.
Ukhti, Jangan Terjerumus Pada Pertentangan….
Tatkala engkau menasehati
sebagian ukhti yang belum berhijab, sebagian mereka ada yang menjawab: ”Saya
juga seorang muslimah, selalu menjaga shalat lima waktu dan sebagian shalat
sunat, saya puasa Ramadhan dan telah
melakukan haji, berkali-kali pula saya umrah, aktif sebagai donatur pada
beberapa yayasan sosial, tetapi saya belum mantap dengan berhijab”.
Pertanyaan Buat Ukhti
“Kalau memang anda sudah dan
selalu melakukan amalan-amalan terpuji, yang berpangkal dari iman, kepatuhan
pada perintah Allah serta takut siksa-Nya jika meninggalkan kewajiban-kewajiban
itu, mengapa anda beriman kepada sebagian dan tidak beriman kepada sebgian yang
lain, padahal sumber perintah-perintah itu adalah satu?
Sebagaimana shalat yang
selalu anda jaga adalah suatu kewajiban, demikan pula halnya dengan hijab.
Hijab itu wajib, dan kewajiban itu tidak diragukan adanya dalam Al-Qur;an dan
As Sunnah. Atau, apakah anda tidak pernah mendengar cercaan Allah terhadap Bani
Israil, karena mereka melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian yang
lain? Secara tegas, dalam hal ini Allah berfirman yang artinya:
…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat
dimikian daripadamu, melainkan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat”. (Al-Baqarah :85)
Selanjutnya renungkanlah hadits shahih berikut ini:
“Sesungguhnya penghuni Neraka yang paling ringan adzabnya pada hari
Kiamat ialah orang yang diletakkan di tengah kedua telapak kakinya dua bara
api, dari dua bara api ini otaknya mendidih, sebagaimana periuk yang mendidih dalam bejana besar yang dipanggang
dalam kobaran api.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitabur Riqaaq, 11/376)
Jika seperti ini adzab
yang paling ringan pada hari Kiamat, lalu bagaimana adzab bagi orang yang
diancam Allah dengan adzab yang amat pedih, sebagaimana disebutkan dalam ayat
ini. Yakni bagi orang yang beriman kepada sebagian ayat dan meninggalkan
sebagian yang lain?
Wahai Ukhti..
Apakah hanya demi penampilan, kebanggaan dan saling
unggul-mengungguli di dunia, lain anda rela menjual akhirat dan siap menerima
adzab yang pedih? Sungguh, kami tidak berharap untuk ukhti, melainkan kebaikan
di dunia dan di akhirat. Kami meminta agar ukhti mau menggunakan akal
sehat dalam menentukan pilihan ini.
C. SYUBHAT KETIGA : IMAN
ITU LETAKNYA DI HATI
Jika salah seorang di
antara mereka ditanya, mengapa dia tidak berhijab? Maka ukhti yang terhormat
ini akan menjawa: “Ah, iman itu letaknya di hati”. Ini adalah jawaban yang
paling sering dilontarkan para wanita muslimah yang belum berhijab. Karena itu,
di bawah ini akan kita bahas syubhat tersebut.
Sumber Syubhat:
Mereka berusaha
menafsirkan sebagian hadits, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan.
Seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada benutk-bentuk (lahiriah) dan
harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.” Tampaklah,
bahwa mereka menggugurkan makna yang semestinya, yaitu kebenaran yang
dibelokkan kepada kebatilan. Memang benar, iman letaknya dalam hati, tetapi
iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja.
Dengan hadits ini
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hendak menjelaskan makna keikhlasan
bagi diterimanya suatu amal perbuatan. Allah tidak melihat bentuk-bentuk
lahiriah, seperti pura-pura khusyu’ dalam shlat dan sebagainya, tetapi Allah
melihat hati dan keikhlasan niat dari segala yang selain Allah. Dia tidak
menerima suatu amal perbuatan kecuali yang ikhlas untuk-Nya semata. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallan bersabda :
“Taqwa itu ada di sini”, seraya menunjuk ke arah dadanya”. Pengarang
kitab Nuzhatul Mutraqin berkata: “Hadits ini menunjukkan, pahala amal
tergantung keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati,
pelempangan tujuan dan kebersihan hati dari segala sifat tercela yang dimurkai
Allah”.
Definisi Iman
Iman tidak cukup hanya dalam hati. Iman dalam hati
semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapatkan Surga.
Definis iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah : “Keyakinan
dalam hati, pengucapan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan”.
Definisi ini terdapat dalam setiap buku akidah (tauhid), kecuali buku-buku yang
menyimpang dan tidak berdasarkan manhaj (metode) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kesempurnaan Iman
Dalam tashawwur (gambaran) kita, orang yang
mengatakan iman dengan lidahnya, tetapi tidak disertai keyakinan hatinya adalah
orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sebatas aktifitas
anggota tubuh, tetapi tidak disertai keyakinan hati, itu merupakan keadaan
orang-orang munafik.
Pada masa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka senantiasa shalat bersama beliau,
berperang, mengeluarkan nafkah, pulang pergi bersama kaum muslimin, tetapi hati
mereka tidak pernah beirman kepada agama Allah. Kepada mereka, Allah menghukumi
sebagai orang-orang munafik, dan balasan untuk mereka adalah berada di kerak
atau dasar Neralka. Demikian pula orang yang beirman hanya dengan hatinya tapi
tidak disertai dengan amalan anggota badan.
Ini adalah keadaan iblis. Dia percaya pada kekuasaan Allah, Dzat yang
menghidupkan dan mematikan. Dia meminta penangguhan kematiannya, dia juga
percaya terhadap adanya hari Kiamat, tetapi dia tidak beramal dengan anggota
tubuhnya. Allah berfirman, yang artinya :
“Ia (iblis) enggan dan takabur dan dia termasuk golongan orang-orang
kafir”. (Al-Baqarah:34). Dalam Al-Qur’an setiap kali disebutkan kata iman,
selalu disertai dengan amal, seperti: “Orang yang beriman dan beramal shalih….
Amal selalu beriringan dan merupakan konsekuensi iman, keduanya tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Kepada ukhti yang
belum berhijab dengan alasan “iman itu letaknya di hati”, kami hendak bertanya,
andaikata seorang kepala sekolah memintanya membuat laporan, atau mengawasi
murid-murid, atau memberi pelajaran ekstra kurikuler, atau menjadi petugas
piket untuk menggantikan guru yang berhalangan hadir atau pekerjaan lain,
logiskah jika dia menjawab: “Dalam hati, saya percaya dan sudah mantap terhadap
apa yang diminta oleh direktur kepadaku, tetapi aku tidak mau melaksanakan apa
yang dikehendakinya dariku:. Apakah jawaban ini bisa diteriman?
Lalu apa akibat yang bakal menimpanya?
Ini sekedar contoh dalam
khidupan manusia. Lalu bagaimana jika urusan ini berhubungan dengan Allah,
Tuhan manusia yang memliki sifat Yang Maha Tinggi ?
D. SYUBHAT KEEMPAT :
ALLAH BELUM MEMBERIKU HIDAYAH
Para akhwat yang tidak berhijab banyak yang berdalih:
“Allah belum memberiku hidayah. Sebenarnya aku juga ingin berhijab,tetapi
hendak bagaimana jika hingga saat ini Allah belum memberiku hidayah, do’akanlah
agar segera mendapat hidayah!” Ukhti yang berdalih seperti ini telah terperosok
dalam kekeliruan yang nyata. Kami ingin bertanya: “Bagaimana engkau mengetahui
bahwa Allah belum memberimu hidayah?”
Jika jawabannya, “Aku tahu”, maka ada satu dari dua kemungkinan:
=> Pertama, dia mengetahui ilmu
ghaib yang ada di dalam kitab yang tersembunyi (Lauhul Mahfuzh). Dia pasti
mengetahui pula bahwa dirinya termasuk orang-orang yang celaka dan bakal masuk
Neraka
=> Kedua, ada makhluk lain yang
mengabarkan padanya tentang nasib dirinya, bahwa dia tidak termasuk wanita yang
mendapatkan hidayah. Bisa jadi yang memberitahu itu malaikat atau pun manusia.
Jika kedua jawaban itu tidak mungkin adanya, bagaimana engkau
mengetahui Allah belum memberimu hidayah? Ini salah satu masalah. Masalah lain
adalah Allah telah menerangkan dalam kitabNya bahwa hidayah itu ada dua macam.
Masing-masing adalah hidayah dilalah dan hidaya taufiq.
Hidayah Dilalah
Ini adalah bimbingan
atau petunjuk pada kebenaran. Dalam hidayah ini, terdapat campur tangan dan
usaha manusia, di samping hidayah Allah dan bimbingan RasulNya. Allah telah
menunjukkan jalan kebenaran pada manusia yang mukallaf, juga Dia telah
menunjukkan jalan kebenaran pada manusia yang mukallaf, juga Dia telah
menunjukkan jalan kebatilan yang menyimpang dari petunjuk para Rasul dan
KitabNya. Para Rasul pun telah menerangkan jalan ini kepada kaumnya. Begitu
pula para da’i. Mereka semua menerangkan jalan ini kepada manusia. Jadi semua
ikut ambil bagian dalam hidayah ini.
Hidayah Taufiq
Hidayah ini hanya
milik allah semat, tidak ada sekutu bagiNya (dalam pemberian hidayah taufiq
ini). Ia berupa peneguhan kebenaran dalam hati, penjagaan dari penyimpangan,
pertolongan agar tetap meniti dan teguh di jalan kebenaran, pendorong pada
kecintaan iman. Pendorong pada kebencian terhadap kekufuran, kefasikan dan
kemaksiatan. Hidayah taufiq diberikan kepada orang yang memenuhi panggilan
Allah dan mengikuti petunjukNya. Jenis hidayah ini datang sesudah hidayah
dilalah. Sejak awal, dengan tidak pilih kasih, Allah memperlihatkan kebenaran
kepada semua manusia.
Allah berfirman yang artinya:
“Dan adapun kaum Tsamua maka mereka telah kami beri petunuk tetapi
mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu… “ (Fushshilat:17)
Dan untuk itu, Allah
menciptakan potensi dalam diri setiap orang mukallaf untuk memilih antara jalan
kebenaran atau jalan kebatilan. Jika dia memilih jalan kebenaran menurut
kemauannya sendiri maka hidaya taufiq akan datang kepadanya. Allah berfirman
yang artinya:
“Dan orang-orang yang meminta petunjuk, Allah (akan) menambah petunjuk
pada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad:17)
Jika dia memilih
kebatilan menurut kemauannya sendiri, maka Allah akan menambahkan kesesatan
padanya dan Dia mengharamkannya mendapat hidayah taufiq.
Allah berfirman yang artinya:
“Katakanlah: ‘Barangsiapa yang berada dalam kesesatan, maka biarlah
Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya…” (Maryam:75)
“…. Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan
hati mereka”. (Ash Shaf:5)
Perumpamaan Hidayah Taufiq
Syaikh Asy Sya’rawi
memberikan perumpamaan yang amat mengena tentang hidayah taufiq ini dan itu
merupakan sunnatullah. Beliau mengumpamakan dengan seseorang yang menanyakan
suatu alamat. Orang itu pergi ke polisi lain lintas untuk menanyakan alamat
tersebut. Lalu polisi menyarankan: “Anda bisa berjalan lurus sepanjang jalan
ini, sampai di perempatan anda belok ke kanan, selanjutnya ada gang, anda belok
ke kiri, di situ anda mendapatkan jalan raya, di seberang jalan raya tersebut
akan terlihat gedung dengan pamplet besar, itulah alamat yang anda cari”.
Orang tersebut
dihadapkan pada dua pilihan, percaya kepada petunjuk polisi atau
mendustakannya. Jika percaya kepada polisi, ia akan segera beranjak mengikuti
petunjuk yang diterimanya. Jika berjalan terus sesuai dengan petunjuk polisi,
ia akan semakin dekat dengan tempat dan alamat yang ia inginkan.
Jika ia tidak
mempercayai saran polisi itu bahkan malah mengumpatnya sebagai pendusta
sehingga ia berjalan menuju arah yang berlawanan, maka semakin jauh dia
berjalan, semakin jauh pula kesesatannya. Itulah perumpamaan petunjuk dan
kesesatan.
Ini merupakan
perumpamaan yang tepat untuk mendekatkan pengertian sunnatullah ini. Siapa yang
memilih kebenaran, Allah akan menolong dan meneguhkannya. Dan siapa yang
memilih kebatilan, Allah akan menyesatkannya dan membiarkannya bersama setan
yang menyertainya.
Carilah
sebab-sebab hidayah, niscaya Anda mendapatkannya. Itulah sunnatullah yang
berlaku pada semua makhlukNya. Allah berfirman
yang artinya:
“Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah
itu”. (Faathir:43)
Adapun sunnatullah dalam
perubahan nasib, hanya akan terjadi jika manusia memulai dengan mengubah
terlebih dahulu dirinya sendiri, lain mengupayakan sebab-sebab perubahan yang
dimaksudnya. Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar Ra’d: 11)
Maka orang yang menginginkan
hidayah serta menghendaki agar orang lain mendo’akan dirinya agar
mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa
mengantarkannya mendapat hidayah tersebut.
Dalam hal ini, terdapat teladan yang baik pada diri Maryam.
Suatu hari, dia amat
membutuhkan makanan padahal ketika itu, ia dalam kondisi sangat lemah, seperti
yang biasa terjadi pada wanita yang hendak melahirkan. Lalu Allah
memerintahkannya melakukan suatu usaha yang orang laki-laki paling kuat sekali
pun tidak akan mampu melakukannya. Maryam diminta menggoyang-goyankan pangkal
pohon korma, meskipun pangkal pohon korma itu sangat kokoh dan sulit
digoyang-goyangkan. Allah berfirman yang artinya:
“Dan goyangkanlah pangkal pohon korma itu ke arahmu…” (Maryam: 25)
Maryam tidak mungkin mampu menggoyang pangkal pohon korma sementara dia
dalam kondisi yang amat lemah. Itu hanya dimaksudkan sebagai usaha mencari
sebab dengan cara meletakkan tangannya di pohon korma.
Dengan demikian
terpenuhilah hukum kausalitas dan sunnatullah dalam hal perubahan. Maka
hasilnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah yang artinya:
“Pohon itu akan menggugurkan buah korma yang masak kepadamu”.
(Maryam:25)
Inilah sunnatullah dalam perubahan. Tidak mungkin orang mukmin
terus-menerus berada di masjid, bahkan meskipun di Masjidil Haram dengan hanya
duduk dan beribadah kepada Allah, seraya mengharap rizki dari Allah. Tentu
Allah tidak akan mengabulkannya tanpa dia sendiri mencari sebab-sebab rizki
tersebut. Langit tak mungkin sekonyong-konyong menurunkan hujan emas dan perak.
Karena itu,
wahai ukhti, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya anda
mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah. Di
antara usaha itu ialah berdo’a agar mendapat hidayah, memilih teman yang
shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan Kitab Allah, mengikuti
majelis-majelis dzikir dan ceramah agama, mendengarkan kaset pengajian agama,
membaca buku-buku tentang keimanan dan sebagainya.
Namun sebelum melakukan semua itu hendaknya engkau terlebih dahulu
meninggalkan hal-hal yang bisa menjauhkanmu dari jalan hidayah. Seperti teman
yang tidak baik, membaca majalah-majalah yang tidak mendidik, menyaksikan
tayangan-tayangan televisi yang membangkitkan perbuatan haram, bepergian tanpa
disrtai mahram, menjalin hubungan dengan para pemuda (pacaran), dan hal-hal
lain yang bertentangan dengan jalan hidayah.
E. SYUBHAT KELIMA : TAKUT
TIDAK LAKU NIKAH
Sebagian akhawat yang
tidak berhijab berdalih dengan takut tidak laku nikah. Syubhat yang dibisikkan
setan dalam jiwa sebagian akhawat yang tidak berhijab ini, pangkalnya adalah
perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan menikah kecuali jika dia
telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan dan perhiasan sang gadis. Jika
ia berhijab atau memakai cadar, tentu tak ada yang bisa dilihat dari padanya
sehingga sang pemuda enggan mengambil keputusan untuk menikahinya. Ironinya,
kepercayaan seperti ini, tidak hanya monopoli para akhawat, tetapi juga
merupakan kepercayaan para orang tua, pada akhirnya mereka melarang anak-anak
puterinya memakai hjab. Syubhat ini tidak bisa diterima leewat dua alasan
mendasar. Penilaian dari sisi teori dasar meskipun kecantikan merupakan salah
satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab
dinikahinya wanita. Rasulullah Shallallahu”Alaih Wasallam bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat hal. Yaitu karena harta, keturunan,
kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang berpegang teguh dengan agama,
(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu.”
Memang demikan yang
terjadi. Kaum laki-laki tidak hanya melihat unsur kecantikan semata tetapi ada
hal-hal lain yang menyatu dengan kecantikan itu atau terlepas darinya yang
dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih isteri. Namun para gadis dan
orangtua banyak yang menganggap kecantikan adalah segala-galanya. Atau
setidak-tidaknya menjadikan kecantikan sebagai unsur terpenting, sedangkan hal
lainnya bisa dikesampingkan. Jelas, jalan pikiran seperti ini bertentangan
dengan naluri manusia.
Penilaian dari Sisi Empiris
Bisa jadi sikap
gadis-gadis yang biasa memperlihatkan aurat --yang dimaksudkan untuk menawan
hati pria—menjadi bumerang bagi dirinya. Betapa banyak tindakan itu malah
membuat para pemuda enggan menikahinya. Sebab bisa saja para pemuda itu
beranggapan jika wanita tesebut berani melanggar salah satu perintah Allah,
yaitu hijab, tidak menutup kemungkinan dia akan berani melanggar
perintah-perintah yang lain. Karena setan memiliki banyak kiat.
Meskipun terkadang
kenyataan yang ada tidak selalu sesuai dengan pendapat ini, tetapi memang
begitulah keadaan mayoritas pemuda kita di zaman sekarang. Pemuda yang
menyunting gadis berhijab, namanya akan menjadi harum meskipun ia sendiri tidak
termasuk orang-orang yang dinilai ta’at menjalankan perintah agama.
F. SYUBHAT KEENAM: IA
MASIH BELUM DEWASA
Syubhat
ini banyak beredar di kalangan orangtua serta sebagian akhawat yang tidak
berhijab. Sebenarnya anak-anak tersebut sudah memiliki niat memakai hijab,
tetapi kemudian ditunda karena syubhat ini. Karena itu dalih ini lebih pantas
disebut hawa nafsu daripada syubhat.
Kebanyakan mereka
berkata: “Jangan sampai melarangnya menikmati kehidupan. Dia toh masih belum
dewasa. Dia masih senang dengan pakaian yang indah, bersolek dengan berbagai
macam make up serta masih suka menampakkan kecantikannya. Semua ini membuatnya
lebih berbahagia dan menikmati hidup”. Kenapa kita melarang dan menghalangi
kebahagiaan justru pada saat umur mereka masih relatif sangat muda? Kalau kita
terlanjur ketinggalan kereta, mengapa kita membuatnya pula ketinggalan kereta
dengan begitu tergesa-gesa? Menurut pendapat mereka, masa belum dewasa
berlangsung hingga anak berumur dua puluh tahun. Karenanya, meskipun ada gadis
datang bulan pada umur 13 tahun, dia masih dianggap anak-anak.
Nasihat untuk Para Wali
Sesungguhnya para
wali, baik bapak atau ibu mencegah anak-anak puterinya berhijab dengan dalih
karena masih belum dewasa, mereka memiliki tanggung jawab yang besar di hadapan
Allah pada hari Kiamat. Ketika seorang gadis mendapatkan haid, seketika itu
pula ia wajib berhijab, menurut syari’at. Jika wali gadis itu melarangnya
berhijab, maka dia mendapat dosa besar, dan Allah akan, menanyakan hal itu pada
hari Kiamat. Allah berfirman yang artinya:
“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka
akan ditanya”. (Ash-Shaaffaat:24) Maksudnya jika ia menyuruh anak puterinya
memakai hijab sejak dini.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallan bersabda:
“Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan ditanya
tentang yang dipimpinnya..”
Seorang ayah adalah
pemimpin pertama dalam rumah tangga. Pada hari Kiamat dia akan ditanya tentang
masing-masing orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Setiap ayah hendaknya
bertanya kepada dirinya sendiri: “Berapa banyak para pemuda yang tergoda oleh
anak puterinya? Seberapa jauh puterinya menyebabkan penyimpangan para pemuda?”
Ungkapan Cinta Untuk Anak-anak Puteri
Allah sebagai saksi,
betapa kami amat mengkhawatirkan dirimu akan mendapat siksa Allah. Kami begitu
ingin menyelamatkanmu dari segala bahaya yang akan menimpamu, baik di dunia
maupun di akhirat. Ini adalah kewajiban seorang muslim kepada saudaranya muslim
yang lain.
Diantara bahaya yang
bakal menimpa ukhti yang tidak berhijab, baik di dunia maupun di akhirat,
adalah seperti disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
“Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya
kaum lelaki, mereka turun di depan pintu-pintu masjid, wanita-wanita mereka
berpakaian (tetapi) telanjang, di atas kepala mereka (terdapat sesuatu) seperti
punuk onta yang lemah gemulai. Laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka adalah
wanita-wanita terlaknat.
Wahai ukhti yang tak
ber-hijab! Tahukah engkau makna laknat? Laknat artinya dijauhkan dari rahmat
Allah Ta’ala. Dalam hadits tadi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memerintahkan setiap muslim agar melaknat tipe wanita seperti yang telah
disebutkan, yaitu mereka yang mengenakan pakaian di tubuh mereka tapi tidak
sampai menutup auratnya sehingga seakan-akan mereka telanjang. Dalam hadits
lain Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, aku (sendiri) belum pernah
melihat mereka, yaitu orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi,
dengannya mereka mencambuki manusia, dan para wanita yang berpakaian (tetapi)
telanjang, bergoyang-goyang dan berlenggak-lenggok, kepada mereka (ada sesuatu)
seperti punuk unta yang
bergoyang-goyang. Mereka tentu tidak akan masuk surga, bahkan tidak
mendapatkan baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak
perjalanan sekian dan sekian”. (HR. Muslim)
Dalam hadits di atas
terdapat sifat-sifat secara rinci tentang golongan wanita ini, yaitu:
=> Mengenakan sebagian pakaian,
tetapi dia menyerupai orang telanjang, karena sebagian besar tubuhnya terbuka
dan itu mudah membangkitkan birahi laki-laki, seperti paha, lengan, rambut,
dada dan lain-lainnya. Juga pakaian yang tembus pandang atau yang amat ketat,
sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, maka ia seperti telanjang, meski
berpakaian.
=> Jalannya lenggak-lenggok dan
bergoyang sehingga membangkitkan nafsu birahi
=> Kepalanya tampak lebih tinggi
sebab is membuat seni hiasan dari bulu atau rambut sintetis karena tingginya,
ia seperti punuk onta.
Hadits
tersebut juga menjelaskan hakikat golongan wanita yang tidak masuk Surga bahkan
sekedar mencium bau wanginya pun tidak, padahal rahmat Allah meliputi segenap
langit dan bumi. Belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallan yang
menyuruh kaum muslimin agar melaknat mereka. “Laknatlah mereka, sesungguhnya
mereka adalah wanita terlaknat”.
Kami
tidak menginginkan selain kebaikan bagi anda, kekhawatiran kami kepada diri
anda, mendorong kami berharap dari lubuk hati kami yang terdalam untuk
menjauhkan anda dari segala yang tidak disenangi-Nya. Semoga Allah mengisi hati
anda dengan cahaya-Nya yang tidak pernah padam lalu anda menang dalam
pertarungan melawan setan, jin dan manusia. Selanjutnya anda berketetapan
melepaskan jeratan dan memerdekakan diri dari tawanan hawa nafsu, menuju alam
kebebasan, kemuliaan, kehormatan, ketenangan dan alam kesucian.
Apakah
Engkau Menjamin Umurmu Masih Panjang?
Wahai
ukhti yang tidak berhijab! Engkau tidak mau berhijab dengan dalih masih belum
dewasa, apakah engkau dapat menjamin umurmu panjang beberapa saat lagi? Apakah
engkau tahu, atau seseorang mengabarkan padamu tentang kapan engkau bakal mati?
Jika tidak, maka boleh jadi kematian akan menjemputmu setelah setahun, sebulan,
seminggu, sehari, sejam atau sedetik kemudian. Semua itu serba mungkin, selama
kita tidak tahu kapan ajal kita akan datang.
Wahai
ukhti, kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sakit, tidak pula orang
yang lanjut usia saja, tetapi juga orang-orang yang sehat walafiat, orang
dewasa, pemuda bahkan sampai bayi yang masih menetek di pangkuan ibunya. Banyak
contoh yang bisa dipaparkan.
G.
KISAH-KISAH NYATA
1. Kematian Yang Tiba-tiba
Seorang anggota parlemen dalam kondisi kesehatan
yang prima, penuh dan memiliki etos kerja sangat tinggi, orangnya masih muda.
Namun, tiba-tiba virus ganas menyerang otaknya. Tak berlangsung lama, virus itu
berubah menjadi segumpal daging. Anggota parlemen itu akhirnya tak berdaya dan
meninggal dengan cara yang amat mengenaskan.
2. Kematian Tak Kenal Orang Sehat atau Sakit
Seorang komandan tinggi di jajaran Angkatan Bersenjata, ia
tak pernah mengeluhkan suatu penyakit apapun, tubuhnya padat berisi,
otot-ototnya kekar, lincah dan gesit dalam melakukan tugas di teritorialnya.
Seperti biasa, pada suatu malam, ia pergi tidur. Di
pagi hari, sang ibu membangunkan dia. Tak ada jawaban. Apa yang terjadi?
Ternyata tubuhnya sudah dingin dan terbujur kaku. Tidur itu menghantarkannya
pada kematian dan tak pernah kembali lagi.
3. Temanku Mati Terbakar
Abu Abdillah berkata: “Aku tak tahu, bagaimana harus
menuturkan kisah ini padamu. Kisah yang pernah kualami sendiri beberapa tahun
lalu sehingga mengubah total perjalanan hidupku. Sebenarnya aku tak ingin
menceritakannya tapi demi tanggung jawab di hadapan Allah, demi peringatan bagi
para pemuda yang mendurhakai Allah dan demi pelajaran bagi para gadis yang
mengejar bayangan semu, yang disebut cinta, maka kuungkapkan kisah ini.
Ketika itu kami tiga sekawan. Yang mengumpulkan kami
adalah kesamaan nafsu dan kesia-siaan. Oh tidak, kami berempat. Satunya lagi
adalah setan.
Kami pergi berburu gadis-gadis. Mereka kami rayu
dengan kata-kata manis, hingga mereka takluk, lalu kami bawa ke sebuah taman
yang jauh terpencil. Di sana
, kami berubah menjadi serigala-serigala yang tak menaruh belas kasihan mendengar
rintihan permohonan mereka, hati dan perasaan kami sudah mati.
Begitulah hari-hari kami di taman, di tenda, atau di
mobil yang di parkir di pinggir pantai. Sampai suatu hari, yang tak mungkin
pernah saya melupakannya, seperti biasa kami pergi ke taman. Seperti biasa
pula, masing-masing kami menyantap satu mangsa gadis, ditemani minuman laknat.
Satu hal kami lupa saat itu, makanan.
Segera salah seorang di antara kami bergegas membeli
makanan dengan mengendarai mobilnya. Saat
ia berangkat, jam menunjukkan pukul enam sore. Beberapa jam berlalu tapi
teman kami itu belum kembali. Pukul sepuluh malam, hatiku mulai tidak enak dan
gusar. Maka aku segerea membawa mobil untuk mencarinya. Di tengah perjalanan,
di kejauhan aku melihat jilatan api. Aku mencoba mendekat. Astaghfirullah, aku
hampir tak percaya dengan yang kulihat. Ternyata api itu bersumber dari mobil temanku yang terbalik
dan terbakar. Aku panik seperti orang gila. Aku segera mengeluarkan tubuh
temanku dari mobilnya yang masih menyala. Aku ngeri tatkala melihat separuh
tubuhnya masak terpanggang api. Kubopong tubuhnya lalu kuletakkan di tanah.
Sejenak kemudian, dia berusaha membuka kedua belah
matanya, ia berbisik lirih:
“Api…, api..!”
Aku memutuskan untuk segera membawa ke rumah sakit
dengan mobilku. Tetapi dengan suara campur tangis, ia mencegah, “Tak ada
gunanya.. aku tak akan sampai..!”
Air mataku tumpah, aku harus menyaksikan temanku
meninggal dihadapanku. Di tengah kepanikanku, tiba-tiba ia berteriak lemah:
“Apa yang mesti kukatakan pada-Nya?
Apa yang mesti kukatakan pada-Nya?”
Aku memandanginya penuh keheranan. “Siapa?” tanyaku.
Dengan suara seakan berasal dari dasar Sumur yang amat dalam, dia menjawab:
“Allah!”
Aku merinding ketakutan. Tubuh dan perasaanku
terguncang keras. Tiba-tiba temanku itu menjerit, gemanya menyelusup ke setiap
relung malam yang gulita, lalu kudengar tarikan nafasnya yang terakhir.
Innalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Setelah itu, hari-hari berlalu seperti sedia kala,
tetapi bayangan temanku yang meninggal, jerit kesakitannya, api yang
membakarnya dan lolongannya “Apa yang harus kukatakan pada-Nya? Apa yang harus
kukatakan pada-Nya?”, seakan terus membuntuti setiap gerak dan diamku.
Pada diriku sendiri aku bertanya, “Aku, .. apa yang
harus kukatakan pada-Nya?”
Air mataku menetes, lalu sebuah getaran aneh
menjalari jiwaku. Saat puncak perenungan itulah, sayup-sayup aku mendengar
adzan Shubuh menggema, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhadu Anla Ilaaha Illa
Allah.. Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah..Hayya ‘Alash Shalaah..”
Aku merasa bahwa adzan itu hanya ditujukan pada
diriku saja, mengajakku menyingkap fase kehidupanku yang kelam, mengajakku pada
jalan cahaya dan hidayah.
Aku segera bangkit, mandi dan wudhu, menyucikan
tubuhku dari noda-noda kehinaan yang mengenggelamanku selama bertahun-tahun.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi meninggalkan
shalat.
4. Kesudahan Yang Berlawanan
Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama
kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku
saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu
dalam shalatnya yang panjang. Aku herann, mengapa ayah shalat begitu lama,
apalagi jika saat musim dingin yang menyengat.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga kau berkata kepada
diri sendiri, “Alangkah sabarnya mereka.. setiap hari begitu..benar-benar
mengherankan!”
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang
mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan.. mereka bangkit dri tempat
tidurnya untuk bermunajat kepada Allah.
Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh
sebagai pemuda yang matang tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal
berbagai nasihat selalu kuterima dn kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari
kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan
menanggung beban sebagai orang terasing.
Di sana,
aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suaru ibu yang
membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari
lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan
tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang
membutuhkan bantuan. Pekerjaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan
tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan
ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian.. banyak waktu
luang..pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh..tak ada yang menuntunku di bidang
agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan
orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentuk penganiayaan lain. Aku
bosan dengan rutinitas.
Sampai suatu hari terjadilah peristiwa yang hingga
kini tak pernah terlupakan. Ketika kami dengan seorang kawan sedang bertugas di
sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol..tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara
benturan yang amat keras.
Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil
bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera
berlari mneuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak
salah satu mobil dalam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan
dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata
pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua
orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan
kalimat syahadat.
Ucapkanlah, “Laailaaha Illallaah..Laailaaha
Illallaah..”perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah
meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.
Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang
yang sekarat..Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan
nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat,
apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya
mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi.. keduanya tetap terus saja melantunkan
lagu.
Tak ada gunanya…
Suaru lagunya semakin melemah..lemah dan lemah
sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada
gerak…keduanya telah meninggal dunia.
Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun.
Selama perjalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia
berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk).
Ia berkata, “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Keduahan
hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”.
Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan
dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri
hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh
pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya
tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.
Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini
benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat khusyu’
sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku semula..Aku seperti tak
pernah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu
lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang
namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala.
Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pernah kudengar dari dua orang yang
sedang sekarat dahulu.
*Kejadian Yang Menakjubkan…
Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan
itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang
mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah
terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang
kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep,
tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang.
Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.
Aku dan seorang kawan --bukan yang menemaniku pada
peristiwa yang pertama-- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa
dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung
mendapat penanganan. Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang
ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup
panik sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika
kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar
dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.. dengan
suara amat lemah.
“Subhanallah!” dalam kondisi kritis seperti ini, ia
masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an? Darah mengguyur seluruh
pakaiannya, tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah
mendengar suara bacaan Al-Qur’an seindah itu. Dalam batin aku bergumam
sendirian, “Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh
temanku terdahulu… apalagi aku sudah punya pengalaman” aku meyakinkan diriku
sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan
suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar
dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke
belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat.
Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak
jantungnya, nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku
menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada
kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya.
Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras
mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit… kepada orang-orang di sana kami mengabarkan
perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang
menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami sehingga tak
sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar
kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak
beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka
ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut
menyalatinya.
Salah seorang petugas rumah sakit menghubungi rumah
almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah
seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan sebetulnya almarhum hendak
menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap Senin. Di sana almarhum juga
menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika terjadi
kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang
kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan
kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang
ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak
kecil.
Bila ada yang mengeluhkan kepadanya tentang
kejenuhan dalam perjalanan, ia menjawab dengan halus, “Justru saya memanfaatkan
waktu perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga
mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap
langkah kaki yang aku ayunkan” kata almarhum.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai
ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan.
Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah
kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari
akhirat…
Dan aku…sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari
pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku.
Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk
tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga.
Amiin…
5. Perjalanan Yang Jauh
Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus
sekali. Tetapi seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur’anul Karim.
Ketika ingin menemuinya, pergilah ke mushallanya. Di
sana engkau
akan mendapatinya sedang ruku’, sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang
dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam hari. Ia tidak pernah jenuh.
Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca
majalah-majalah seni, tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernha
beranjak dari video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini.
Setiap video diputar pasti di situ ada aku. Karena ‘kesibukanku’ ini, banyak
kewajiban yang tak bisa kuselesaikan bahkan, aku suka meninggalkan shalat.
Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di
tengah malam, aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumahku.
Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua persendianku,
maka aku pun segera menghampiri tempat tidur.
Nurah memanggilku dari mushallanya.
Dengan berat sekali, aku menyeret kaki
menghampirinya.
“Ada
apa Nurah?” tanyaku.
“Jangan tidur sebelum shalat Shubuh!”, ia
mengingatkan. “Ah, Shubuh kan
masih satu jam lagi. Yang baru saja kan
adzan pertama!”
Begitulah, ia selalu penuh perhatian padaku. Sering
memberiku nasihat, sampai akhirnya ia terbaring sakit. Ia tergeletak lemah di
tempat tidur.
“Hanah!” panggilnya suatu ketika.
Aku tak mampu menolaknya. Suara itu begitu jujur dan
polos.
“Ada
apa saudariku?” tanyaku pelan.
“Duduklah!”
Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening…
Sejenak kemudian Nurah melantunkan ayat suci
Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu.
“Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya
pada hari Kiamat sajalah disempurakan pahalamu.” (Ali Imran:185)
Diam sebentar, lalu ia bertanya: “Apakah kamu tidak
percaya adanya kematian?”
“Tentu saja percaya!”
“Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan
dihisab, baik yang besar maupun yang kecil?”
“Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun dan
Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang?”
“Ukhti, apakah kamu tidak takut mati yang datangnya
tiba-tiba? Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena
sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak mengenal umur. Umur
bukan ukuran bagi kematian seseorang.
Aku menjawabnya penuh ketakutan. Suasana tengah
malam yang gelap mencekam, semakin menambah rasa takutku.
“Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku
lagi dengan kematian? Di mana aku akan tidur nanti?” Jiwa asliku yang amat
penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri, aku berusaha tegar dengan
mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rekreasi.
“Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita
pergi rekreasi bersama? Pancingku.
“Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi
jauh, ke tempat yang jauh… mungkin.. umur ada di tangan Allah, Hanah”, ia lalu
terisak.
Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam kesedihan.
Sekejap, langsung terlintas dalam benakku tentang
sakitnya yang ganas. Para dokter, secara
rahasia telah mengabarkan hal itu kepada ayah. Menurut analisa medis, para
dokter sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya kematian.
Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua padanya?
Atau ia memang merasa sudah datang waktunya?
“Mengapa termenung? Apa yang engkau lamunkan?” Nurah
membuyarkan lamunanku.
“Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku
sedang sakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang
sehat. Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 tahun atau… Lalu apa setelah itu? Kita
tidak berbeda. Kita semua pasti akan pergi, entah ke Surga atau ke Neraka.
Apakah engkau belum mendengar firman Allah SWT:
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke
dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung” (Ali Imran:185)
“Sampai besok pagi,” ia menutup nasihatnya.
Aku bergegas meninggalkannya menuju kamar.
Nasihatnya masih terngiang-ngiang di gendang telingaku, “Semoga Allah memberimu
petunjuk, jangan lupa shalat!”
Pagi hari… Jam dinding menunjukkan angka delapan
pagi. Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. “Pada jam ini biasanya aku
belum mau bangun” pikirku. Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak
terisak.
“Ya Rabbi, apa yang terjadi?”
“Mungkin Nurah….?” Firasatku berbicara. Dan benar,
Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.
Tidak ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus
menunggui Nurah yang sedang sakit.
Lama sekali menunggu kabar dari rumah sakit dengan
harap-harap cemas.
Tepat pukul satu siang, telepon di rumah kami
berdering. Ibu segera mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia menelpon dari
rumah sakit. “Kalian bisa pergi ke sumah sakit sekarang!” demikian pesan yang
singkat.
Kata ibu, tampak sekali ayah beitu panik, nada
suaranya berbeda dari biasanya.
“Mana sopir…? Kmai semua terburu-buru!” Kami
menyuruh sopir menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah, jalan yang biasanya
terasa dekat bila aku menikmatinya dalam perjalanan liburan, kini terasa amat
panjang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet yang biasanya kunanti-nantikan
sehingga aku bisa menengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa menyebalkan.
Di sampingku, ibu berdo’a untuk keselamatan Nurah.
“Dia anak shalihah. Ia tida pernha menyia-nyiakan
waktunya. Ia begitu rajin beribadah”, ibu bergumam sendirian.
Kami turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera
masuk ruangan. Para pasien pada tergeletak
lunglai. Di sana
sini terdengar lirih suara rintihan. Ada
yang baru saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya buta, ada yang
mengerang keras. Pemandangan yang membuat bulu kudukku merinding.
Kami naik tangga eskalator menuju lantai atas. Nurah
berada di ruang perawatan intensif. Di depan pintu terpampang peringatan:
“Tidak boleh masuk lebih dari satu orang!” Kami terperangah. Tak lama kemudian,
seorang perawat datang menemui kami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi
Nurah mulai membaik, setelah beberapa saat sebelumnya tak sadarkan diri.
Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dar
sebuah lubang kecil jendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata
Nurah sedangn memandangiku. Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air
matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan intensif.
Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatan agar
aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku diberi waktu dua menit.
“Assalamu’alaikum! Bagaimana keadaanmu Nurah? Tadi
malam engkau baik-baik saja. Apa yang terjadi denganmu?” aku menghujaninya
dengan pertanyaan.
“Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik saja”,
jawabnya dengan berusaha tersenyum.
“Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?” aku
menyelidik.
Aku duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba
betisnya, tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku.
“Ma’af, kalau aku mengganggumu!” aku tertunduk.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta’ala:
“Dan bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada
Tuhanmulah pada hari itu kami dihalau”. (Al-Qiyamah:29-30)
Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur’an.
Aku menguatkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha
untuk tidak menangis di hadapan Nurah, aku membisu.
“Hanah, berdo’alah untukku. Mungkin sebentar lagi
aku akan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku di
akhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali.”
Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis
sejadi-jadinya. Ayah mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah
melihatku menangis seperti itu.
Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada hari
itu, Nurah meninggal dunia…. Suasana begitu cepat berubah. Seperti baru
beberapa menit aku berbincang-bincang dengannya. Kini ia telah meninggalkan
kami buat selama-lamanya. Dan, ia tak akan pernah bertemu lagi dengan kami. Tak
akan pernah pulang lagi. Tidak akan bersama-sama lagi. Oh Nurah…
Suasana dirumah kami digelayuti duka yang amat
dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan yang mengharu biru. Sanak
kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi,
siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka percakapkan.
Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah,
bagaimana dengan diriku? Apa yang bakal terjadi pada diriku? Aku tak kuasa
lagi, meski sekedar menangis. Aku ingin memberinya pernghormatan terakhir. Kau
ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium keningnya.
Kini, tak ada sesuat yang kuingat selain satu hal.
Aku ingat firman Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya.
“Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan)”. Aku
kini benar-benar paham bahwa, “Kepada Tuhanmu-lah pada hari itu kamu dihalau.”
Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah malam
terakhir aku menjumpainya di mushallanya.
Malam ini, aku sendirian di mushalla almarhumah.
Terbayang kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian baik kepadaku. Dialah
yang senantiasa menghibur kesedihanku, ikut memahami dan merasakan kegalauanku,
saudari yang selalu mendo’akanku agar aku mendapat hidayah Allah, saudari yang
senantiasa mengalirkan air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu
menasihatiku tentang mati, hari perhitungan… ya Allah!
Malam ini adalah malam pertama bagi Nurah
dikuburnya. Ya Allah, rahmatilah dia, terangilah kuburnya.
Ya Allah, ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya..dan
ini…ini gaun merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal dijadikan
kenangan manis pernikahannya.
Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan
sia-sia. Aku menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku berdo’a kepada
Allah semoga Dia merahmatiku dan menerima taubatku.
Aku mendo’akan Nurah agar mendapat keteguhan dan
kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan suka mendo’akanku.
Tiba-tiba aku tersentak dengan pikiranku sendiri.
“Apa yang akan terjadi jika yang meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?”
Aku tak berani mencari jawabnya, ketakutanku
memuncak. Aku menangis, menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allahu Akbar…Adzan fajar berkumandang. Tetapi, duhai
alangkah merdunya suara panggilan itu kali ini.
Aku merasakan kedamaian dan ketentraman yang
mendalam. Aku jawab ucapan muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah,
selanjutnya aku shalat Shubuh. Aku shalat seperti orang yang hendak berpisah
selama-lamanya. Shalat yang pernah kusaksikan terakhir kali dari saudari
kembarku Nurah.
Jika tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu sore
dan jika tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.
H. SYUBHAT KETUJUH: MODE
DAN BUKAN HIJAB
Sebagian wanita muslimah
yang tidak berhijab, mengulang-ulang syubhat yang intinya, tidak ada yang
disebut hijab secara hakiki, ia sekedar mode. Maka, jika itu hanya mode, kenapa
harus dipaksakan untuk mengenakannya?
Mereka lalu
menyebutkan beberapa kenyataan serta penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian
ukhti berhijab yang pernah mereka saksikan. Sebelum membantah syubhat ini, kami
perlu mengetengahkan, ada enam macam alasan yang karenanya seorang ukhti
mengenakan hijab:
=> Pertama, ia berhijab untuk
menutupi sebagian cacat tubuh yang dideritanya.
=> Kedua, ia berhijab untuk bisa
mendapatkan jodoh. Sebab sebagian besar pemuda, yang taat menjalankan syari’at
agama atau tidak, selalu mengutamakan wanita yang berhijab.
=> Ketiga, ia berhijab untuk
mengelabui orang lain bahwa dirinya baik-baik. Padahal, sebenarnya ia suka
melanggar syari’at Allah. Dengan berhijab, maka keluarganya akan percaya
terhadap keshalihannya, orang tidak ragu-ragu tentangnya. Akhirnya,dia bisa
bebas ke luar rumah kapan dan ke mana dia suka, dan tidak akan ada seorang pun
yang menghalanginya.
=> Keempat, ia memakai hijab untuk
mengikuti mode, hal lazim disebut “hijab ala Perancis”. Mode itu biasanya
menampakkan sebagian jalinan rambutnya, memperlihatkan bagian atas dadanya,
memakai rok hingga pertengahan betis, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Terkadang
memakai kain yang tipis sekali sehingga tampak
jelas warna kulitnya, kadang-kadang juga memakai celanca panjang. Untuk
melengkapi mode tersebut, ia memoles wajahnya dengan berbagai macam make up,
juga menyemprotkan parfum, sehingga menebar bau harum pada setiap orang yang
dilaluinya. Dia menolak syari’at Allah , yakni perintah mengenakan hijab. Selanjutnya lebih mengutamakan
mode-mode buatan manusia seperti Christian Dior, Valentine, San Lauren, Canal,
Cartier dan merek dari nama-nama orang-orang kafir lainnya.
=> Kelima, ia berhijab karena
paksaan dari kedua orang tuanya yang mendidiknya secara keras di bidang agama,
atau karena melihat keluarganya semua berhijab sehingga ia terpaksa
menggunakannya padahal dalam hatinya ia tidak suka. Jika tidak mengenakan, ia
takut akan mendapat teror dan hardikan dari keluarganya. Golongan wanita
seperti ini, jika tidak melihat ada orang yang mengawasinya, serta merta ia
akan melepas hijabnya, sebab ia tidak percaya dan belum mantap dengan hijab.
=> Keenam, ia mengenakan hijab
karena mengikuti aturan-aturan syari’at. Ia percaya bahwa hijab adalah wajib,
sehingga ia takut melepaskannya. Ia berhijab hanya karena mengharapkan ridha
Allah, tidak karena makhluk-makhluk-Nya. Wanita berhijab jenis ini, akan
selalui memperhatikan ketentuan-ketentuan berhijab, di antaranya:
1)
Hijab itu longgar, sehingga tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh
2)
Tebal, hingga tidak kelihatan sedikit pun bagian tubuhnya
3)
Tidak memakai wangi-wangian
4)
Tidak meniru mode pakaian wanita-wanita kafir, sehingga wanita-wanita
muslimah memiliki identitas pakaian yang dikenal
5)
Tidak memilih warna kain yang kontras (menyala), sehingga menjadi pusat
perhatian orang
6)
Hendaknya menutupi seluruh tubuh, selain wajah dan kedua telapak
tangan,menurut suatu pendapat, atau menutupi seluruh tubuh dan yang tampak
hanya mata, menurut pendapat yang lain
7)
Hendaknya tidak menyerupai pakaian laki-laki, sebab hal tersebut
dilarang oleh syara’
8)
Tidak memakai pakaian yang sedang menjadi mode dengan tujuan pamer
misalnya, sehingga ia terjerumus kepada sifat membanggakan diri yang dilarang
agama
Selain berhijab yang disebutkan terakhir (poin keenam), maka
alasan-alasan mengenakan hijab adalah keliru dan bukan karena mengharap ridha
Allah. Ini bukan berarti, tidak ada orang yang menginginkan ridha Allah dalam
berhijab. Berhijablah sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syari’at
sehingga anda termasuk dalam golongan wanita yang berhijab karena mencari ridha
Allah dan takut akan murka-Nya.
I. SYUBHAT KEDELAPAN:
MENGHALANGI BERKAH
Syubhat ini
–sebagaimana yang terdahulu- lebih tepat disebut syahwat daripada syubhat. Ia
adalah nafsu buruk sehingga menghalangi para wanita berhijab. Tetapi wanita
yang menurutkan dirinya di belakang nafsu ini patut kita pertanyakan:
“Untuk siapa engkau pamer aurat? Untuk siapa engkau berhias?”
Jika jawabannya:
“Aku memamerkan tubuhku dan bersolek agar semua orang mengetahui kecantikan dan
kelebihan diriku, “ maka kembali kita perlu bertanya:
“Apakah kamu rela,
kecantikanmu itu dinikmati oleh orang yang dekat dan jauh darimu?”
“Relakah kamu menjadi barang
dagangan yang murah bagi semua orang baik yang jahat maupun yang terhormat?”
“Bagaimana engkau bisa
menyelamatkan dirimu dari mata para serigala yang berwujud manusia?” “Maukah
kamu, jika dirimu dihargai serendah itu?”
1. Kisah Nyata
Seorang artis terkenal mengadakan lawatan di salah
satu negara teluk untuk memeriahkan sebuah pesta malam kolosal di negara
tersebut. Bersama grupnya, ia akan menggelar konser spektakuler.
Salah seorang wanita shalihah menghubungi artis tersebut via telepon.
Ia akan melaksanankan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Segera ia mencari nomor
telepon kamar dihotel tempat artis itu menginap. Setelah menemukannya, ia
segera menghubungi. Selanjutnya terjadilah dialog seperti di bawah ini:
Ukhti: “Kami ucapkan selamat atas kedatangan anda di
negeri kami. Kami senang sekali atas kehadiran anda di sini. Kami ingin
mengajukan beberapa pertanyaan kepada anda, saya harap anda sudi menjawabnya.”
Artis : “Dengan segala senang hati, silahkan anda
bertanya!”
Ukhti: “Jika anda memiliki barang yang berharga,
dimana anda akan meletakannya?”
Artis : “Di tempat yang khusus, aku akan menguncinya
sehingga tidak seorang pun bisa mengambil.”
Ukhti: “Jika sesuatu itu barang yang amat berharga
sekali, di mana anda akan menyembunyikannya?”
Artis : “Di tempat yang sangat khusus, sehingga tak
ada satu tangan pun bisa menyentuhnya.”
Ukhti : “Apakah sesuatu yang paling berharga yang
dimiliki oleh seorang wanita?”
Artis : (Lama tak menjawab)
Ukhti : “ Bukankah kesucian dirinya sesuatu yang
paling berharga yang ia miliki?”
Artis :
“Benar…benar, sesuatu yang paling berharga dari milik wanita adalah
kesuciannya.”
Ukhti : “Apakah sesuatu yang amat berharga itu boleh
dipertontonkan di muka umum?”
(Dari sini artis itu mengetahui kemana arah
pembicaraan selanjutnya. Ia tercenung beberapa saat, lalu berteriak riang,
seakan suara itu dari lubuk fithrahnya. Ia tersadarkan.)
Artis : “Ini sungguh ucapan yang pertama kali
kudengar selama hidupku. Saya harus bertemu anda, sekarang juga! Saya ingin
lebih banyak mendengarkan petuah-petuah anda”.
Wahai
ukhti, jika engkau menampakkan auratmu dan bersolek demi suamimu atau di depan
sesama kaummu maka hal itu tidak mengapa selama tidak keluar dari rumah. Jika
antar sesama wanita, maka hendaknya engkau tidak menampakkan aurat yang tidak
boleh dilihat sesama wanita, yakni antar pusar dengan lutut.
2. Perumpamaan
Saudariku,
engkau amat mahal dan berharga sekali. Pernahkan terlintas dalam benakmu,
bagaimana seorang pembeli membolak-balik barang yang ingin dibelinya? Jika ia
tertarik dan berniat membelinya, ia akan meminta kepada sang penjual agar ia
diambilkan barang baru yang sejenis yang masih tersusun di atas rak. Ia ingin
agar yang dibelinya adalah barang yang belum pernah tersentuh oleh tangan
manusia.
Renungkanlah perumpamaan ini
baik-baik. Dari sini, engkau akan tahu betapa berharganya dirimu, yakni jika
engkau menyembunyikan apa yang harus engkau sembunyikan sesuai dengan perintah
Allah kepadamu.
J. SYUBHAT KESEMBILAN:
HIJAB MENCIPTAKAN PENGANGGURAN SEBAGIAN SDM DI MASYARAKAT
Syubhat ini tidak
begitu populer di kalangan wanita tak berhijab tetapi ia amat sering
dilontarkan oleh orang-orang sekuler dan para pendukungnya. Menurut mereka,
hijab wanita akan menciptakan pengangguran sebagian dari SDM (Sumber Daya
Manusia) yang dimiliki oleh masyarakat. Padahal Islam menyuruh para wanita agar
tetap tinggal di rumah atau dengna kata lain, para wanita tidak diwajibkan
untuk bekerja karena ia sudah merupakan kewajiban sang suami untuk mencari
nafkah.
Syubhat yang sering
kita dengar ini, dapat kita sanggah dengan beberapa argumentasi:
=> Pertama, pada dasarnya wanita
itu memang harus tetap tinggal di rumahhnya. Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu.” (Al-Ahzab:33)
Ini bukan berarti melecehkan keberadaan wanita, atau tidak
mendayagunakan SDM-nya, tetapi hal itu merupakan penempatan yang ideal sesuai
dengan kodrat dan kemampuan wanita.
=> Kedua, Islam memandang bahwa
pendidikan anak, penanaman nilai-nilai akhlak dan bimbingan terhadap mereka
sebagai suatu kewajiban wanita yang paling hakiki. Berbagai hasil penelitian,
yang dikuatkan oleh data statistik, baik yang berskala internasional maupun
nasional menunjukkan berbagai penyimpangan anak-anak muda, faktor utamanya
“broken home” (keruntuhan rumah tangga) serta kurangnya perhatian orang tua
terhadap anak-anaknya.
=> Ketiga, Islam tidak membebani
wanita mencari nafkah. Mencari nafkah adalah tugas laki-laki. Karena itu,
secara alamiah, yang paling patut keluar rumha untuk bekerja adalah laki-laki,
sehingga wanita bisa sepenuhnya mengurus pekerjaan yang justru lebih penting
daripada jika ia harus bekerja di luar rumah, yaitu mendidik generasi muda. Dan
sungguh, tugas paling berat dalam masyarakat adalah mendidik generasi muda
sebab daripadanya akan lahir tatanan masyarakat yang baik
=> Keempat, Islam sangat
memperhatikan perlingungan terhadap masyarakat dari kehancuran. Pergaulan
bebas, (bercampurnya laki-laki dengan perempuan tanpa hijab) dan sebagainya
menyebabkan lemahnya tatanan masyarakat serta menjadikan wanita korban
pelecehan oleh orang-orang yang lemah jiwanya. Dan dengan pergaulan yang serba
boleh itu, masing-masing lawan jenis akan disibukkan oleh pikiran dan perasaan
yang tak bermanfaat, apalagi jika ikhtilath itu oleh pihak wanita sengaja dijadikan
ajang pamer kecantikan dan perhiasannya.
=> Kelima, Islam tidak melarang
wanita bekerja. Bahkan dalam kondisi tertentu, Islam mewajibkan wanita berkerja
yakni jika pekerjaan itu memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat demi
mencegah madharat seperti profesi dokter spesialis wanita, guru di sekolah
khusus wanita, bidan serta profesi lain yang melayani berbagai kebutuhan khusus
wanita
=> Keenam, dalam kondisi terpaksa,
Islam tidak melarang waita bekerja selama berpegang dengan tuntunan syari’at.
Seperti meminta izin kepada walinya, menjauhi ikhtilath, khalwat (berduaan
dengan selain mahram), profesinya bukan jenis pekerjaan maksiat, jenis
pekerjaan itu dibenarkan syari’at, tidak keluar dari kebiasaan dan tabiat
wanita, tidak mengganggu tanggung jawab pokoknya sebagai ibu rumah tangga serta
syarat-syarat lain yang diatur oleh agama.
K. SYUBHAT KESEPULUH:
HIJAB BUKAN FENOMENA TAPI BUDAYA
Banyak orang berkata:
“Hijab merupakan fenomena keterbelakangan bagi masyarakat, hijab tidak
menunjukkkan budaya modern dan maju. Wanita yang berhijab laksana tenda hitam
yang berjalan, sangat aneh, dan mengembalikan masyarakat pada kehidupan
primitif.”
1. Kerancuan Istilah
Syubhat ini langsung gugur karena kesalahan fatald
dari argumentasi itu sendiri. Kemajuan budaya bukanlah diukur dengan
simbol-simbol fisik dan materi, seperti pakaian, bangunan, kendaraan, perhiasan
dan hal-hal lahiriah lainnya. Orang yang mengukur kemajuan budaya masyarakat
dengan simbol-simbol fisik adalah orang yang tidak memahami masalah dan tidak bisa
berfikir secara logis.
Kebudayaan adalah istilah. Ia merupakan kumpulan
nilai-nilai, akhlak dan perilaku dalam suatu masyarakat. Adapun fenomena fisik
atau material –seperti dicontohkan di atas- semua itu tidak masuk dalam lingkup
budaya, tetapi wujud dari peradaban.
2. Penjelasan dari Sisi Empiris
Sebagai contoh, jika seseorang melawat ke Amerika,
ia akan merasakan dan menyaksikan kebebasan sangat dijunjung tinggi oleh setiap
orang di sang, baik pejabat pemerintah atau rakyat biasa. Sebagai simbol kebebasan
tersebut, mereaka membangun patung Liberty
(kebebasan) di jantung kota
besar di negara adidaya tersebut.
Karena itu Amerika tidak saja menjadi pelopor dunia
di bidang teknologi semata tetapi juga di bidang nilai-nilai kemanusiaan.
Pemerintah yang sangat berkuasa itu begitu menjaga nilai-nilai tersebut untuk
kepentingan rakyatnya. Negara-negara lain, ukuran keberhasilan dan
kemundurannya juga dilihat dari seberapa jauh mereka menghormati nilai-nilai
tersebut berikut penerapannya.
Contoh lain, ketika anda pergi ke stasiun kereta
api, di negara mana pun di Eropa, tentu anda akan mendapati jadwal
keberangkatan dan kedatangan kereta api selama sepekan, lengkap dengan jam dan
menitnya. Misalnya, dalam jadwal tertulis, hari Senin, kereta api pertama tiba
pada pukul 06.40 pagi. Jika anda menunggu di stasiun, anda akan mendapati
kereta api datang tepat pada waktunya, tidak terlambat meskipun hanya satu
menit. Seandainya terjadi keterlambatan sedikit saja, maka di mana-mana akan
melihat pengaduan, bahkan petugas yang menyebabkan keterlambatan tersebut,
dapat dipecat dari tugasnya. Mungkin juga akan menimbulkan gejolak baik lewat
media massa
atau unjuk rasa.
“Menghormati waktu” adalah satu di antara
nilai-nilai yang dimiliki oleh Eropa. Maka, ukuran kemajuan Eropa dan
peradabannya tidak semata karena teknologinya, tetapi juga karena mereka
memiliki nilai-nilai yang selalu dijunjung tinggi.
Sebaliknya, masyarakat kita tergolong masyarakat
terbelakang, bukan karena tidak memiliki teknologi semata, tetapi karena kita
menjauhi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita miliki. Padahal nilai-nilai
kita bersumber dari agama Islam kita yang agung. Dari sinilah, lain masyarakat
kita tergolong masyarakat yang paling banyak pelanggarannya terhadap hak-hak
asasi manusia (HAM), kezhaliman merajalela di mana-mana, marak berbagai
pelecehan terhadap hukum dan peraturan, jarang mengikutsertakan aspirasi
rakyat, tidak suka mendengarkan pendapat orang lain serta berbagai tindak
pelecehan lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka mengenakan
hijab Islami terhitung satu langkah maju untuk membangun budaya masyarakat,
sebab ia adalah cerminan akhlak, perilaku dan nilai yang berdasarkan agama kita
yang lurus. Tidak seperti tuduhan mereka, ber-hijab bukan fenomena budaya.
L. SYUBHAT KESEBELAS:
ORANG TUA DAN SUAMIKU MELARANG BERHIJAB
Dasar permasalahan ini
adalah bahwa ketaatan kepada Allah harus didahulukan daripada ketaatan kepada
makhluk siapapun dia. Setelah ketaatan kepada Allah, kedua orang tua lebih
berhak untuk ditaati dari yang lainnya, selama keduanya tidak memerintahkan
pada kemaksiatan.
Masalah lain bahwa
menyelisihi wali karena melaksanakan perintah Allah adalah di antara bentuk
taqarrub kepada Allah yang paling agung, dan itu sekaligus termasuk bentuk
dakwah kepada wali.
Masalah ketiga, jika
wali, baik ayah atau suami melihat orang yang berada di bawah tanggung jawabnya
bersikeras, biasanya wali akan mengalah dan menghormati pilihan orang yang
berada di bawah tanggung jawabnya. Kecuali jika wali itu tidak memiliki rasa
cinta hakiki kepada orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Berikut kami turunkan beberapa fatwa ulama besar seputar masalah ini
1) Soal: “Bagaimana hukum orang
yang menentang ibunya dengan tidak mentaatinya karena ibu tersebut menganjurkan
sesuatu yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah? Seperti, sang ibu
menganjurkannya bertabarruj, berpergian jauh tanpa mahram. Ia berdalih bahwa
hijab itu hanyalah khurafat dan tidak diperintahkan oleh agama. Karena itu ibu
meminta agar saya menghadiri berbagai pesta dan mengenakan pakaian yang
menampakkan apa yang diharamkan Allah bagi wanita. Ia amat marah jika melihat
saya mengenakan hijab”.
Jawab: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk, baik ayah, ibu atau selain
keduanya dalam hal-hal yand di dalamnya
terdapat maksiat kepada Allah. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam kebaikan”.
“Dan tidak boleh ta’at kepada makhluk dengan mendurhakai (bermaksiat)
kepada Al-Khaliq”
Hal-hal yang dianjurkan oleh ibu sang penanya di atas termasuk
kemaksiatan terhadap Allah, karena itu ia tidak dibenarkan mentaatinya. (Syaikh
bin Baz)
2) Soal : Beberapa lembaga tinggi di negara kami
yang termasuk negara Islam mengeluarkan peraturan yang intinya memaksa para
wanita muslimah agar melepas hijab, khususnya tutup kepala (kerudung). Bolehkah
saya mentaati peraturan tersebut? Perlu diketahui, jika ada yang berani
menentangnya maka ia akan mendapat sangsi besar. Misalnya dikeluarkan dari
tempat kerja,dari sekolah atau bahkan dipenjara?
Jawab : “Kejadian di negara anda tersebut merupakan ujian bagi setiap
hamba”. Allah berfirman :
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang berdusta”. (Al Ankabut:1-3)
Menurut hemat kami, semua muslimah di negara itu wajib tidak menta’ati
ulil amri (penguasa) dalam perkara yang mungkar tersebut. Karena keta’atan
kepada ulil amri menjadi gugur kalau ia memerinthkan perbuatan yang mungkar.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya
dan ulil amri di antara kamu”. (An-Nisa: 59)
Jika kita perhatikan ayat di atas, kita tidak mendapati perintah taat
untuk ketiga kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada ulil amri harus
mengikuti (sesuai) dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika perintah
mereka bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perintah itu
tidak boleh dituruti dan ditaati.
“Dan tidak boleh ta’at kepada makhluk dengan mendurhakai (bermaksiat)
kepada Al-Khaliq”
Resiko yang mungkin menimpa para wanita dalam masalah ini, hendaknya
dihadapi dengan sabar dan dengan memohon pertolongan kepada Allah. Kita semua
berdo’a, semoga para penguasa dinegara tersebut segera mendapat petunjuk dari
Allah.
Tapi, menurut hemat kami, pemaksaan tersebut tidak akan terjadi
manakala wanita tidak keluar dari rumah. Jika mereka berada di rumah
masing-masing, tentu dengan sendirinya pemaksaan itu tidak ada artinya sama
sekali.
Para wanita muslimah hendaknya tetap tinggal di rumah masing-masing
sehingga selamat dari peraturan tersebut.
Adapun belajar yang di dalamnya terdapat kemaksiatan, misalnya
ikhtilath, maka hal itu tidak dibenarkan.
Memang, para wanita harus belajar sesuai dengan kebutuhannya, baik di
bidang agam maupun masalah dunia.
Tetapi biasanya, hal ini bisa dilakukan di rumah. Secara ringkas, dapat
saya katakan, kita tidak boleh mentaati ulil amri dalam perkara yang mungkar.”
(Syaikh Ibnu Utsaimin)
3) Soal: “Sepasang suami istri telah dikaruniai beberapa anak. Seorang
istri menghendaki mengenakan pakaian sesuai dengan ketentuan syari’at, tetapi
sang suami melarangnya. Apa nasihat Syaikh terhadap suami seperti ini?”
Jawab : “Kami nasihatkan kepada suami itu agar ia bertaqwa kepada Allah
dalam urusan keluarganya. Ia juga hendaknya bersyukur kepada Allah yang
memberikan isteri yang ingin menerapkan salah satu perintah Allah. Yakni
memakai pakaian sesuai dengan ketentuan syari’at, sehingga menjaga keselamatan
dirinya dari fitnah.
Disamping itu, Allah memerintahkan agar para hamba-Nya yang beriman
menjaga diri dan keluarganya dari api Neraka. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (At-Tahrim:6)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga menegaskan:
“Seseorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan
bertanggunjawab atas yang dipimpinnya”. (HR Al-Bukhari).
Jika demikian halnya, patutkah seorang suami berusaha memaksa isterinya
menanggalkan pakaian sesuai dengan ketentuan syara’ agar selanjutnya mengenakan
pakaian yang diharamkan, yang menyebabkan fitnah?
Hendaknya sang suami tersebut bertaqwa kepada Allah dalam dirinya dan
dalam urusan keluarganya. Justru ia harus bersyukur karena dimudahkan oleh
Allah sehingga mendapatkan isteri shalihah tersebut. Adapun terhadap isterinya,
kami nasihatkan agar ia tidak mentaati suaminya dalam kemaksiatan terhadap
Allah, sampai kapan pun. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
kemaksiatan terhadap Al Khaliq (Syaikh Ibnu Utsaimin)
KESIMPULAN
Inilah hukum syari’at menurut keterangan para ulama kita seputar
masalah syubhat yang sedang kita bahas. Tetapi, untuk menolak wali, jika ia
memerintahkan bertabarruj atau melarang berhijab, hendaknya ia melakukan secara
hikmah.
Hikmah yang dimaksud di antaranya adalah:
1) Memperhatikan adab dan sopan
santun dalam menerangkan apa yang anda yakini kebenarannya. Misalnya dengan
tidak meninggikan suara atau menggunakan kalimat yang memancing emosi dan
kemarahan waliyyul amri.
2) Tabah dalam menghadapi ejekan,
celaan dan hinaan.
3) Hendaknya lapang dada dan tidak
cemas. Juga hal itu tidak boleh menyebabkan muamalah yang tidak baik kepada
waliyyul amri.
4) Setelah memohon pertolongan
kepada Allah, hendaknya anda juga berusaha dengan memohon pertolongan kepada
sanak kerabat dan kawan-kawan dekat yang telah mendapatkan hidayah Allah.
5) Hendaknya anda memohon
pertolongan kepada Allah, terus menerus berdoa agar diberikan keteguhan dan
dikeluarkan dari berbagai kesulitan, membaca Al-Qur’an terutama saat
mendapatkan celaan dan hinaan agar bisa menahan diri dari godaan setan.
6) Hendaknya anda tidak
menerangkan apa yang anda yakini dengan nada menggurui atau merasa lebih
tinggi, tetapi sampaikanlah dengan bahasa murid terhadap gurunya, sebab seorang
ayah atau ibu tidak suka melihat anaknya bersikap merasa tinggi atau sebagai
guru terhadap mereka.
7) Membalas keburukan dengan
kebaikan.
8) Memilih saat yang tepat untuk
mengadakan dialog.
9) Hendaknya ukhti ini sadar bahwa
Surga itu sangat mahal, dan sesuatu yang mahal tidak akan diberikan kecuali
setelah kepayahan, kerja keras dan tabah menanggung berbagai rintangan dan
gangguan di jalan Allah Ta’ala.
PENUTUP
Setelah berabad-abad
imperialisme kafir mencengkaramkan kukunya di berbagai negara, muncullah
kesadaran lewat berbagai gerakan kemerdekaan di negara-negara terjajah untuk
memerangi para imperialis tersebut. Setelah timbulnya perlawanan yang menelan
korban tidak sedikit di pihak imperialis, baik secara material maupun non
material, para imperialis-kolonialis tersadarkan bahwa pengerahan unsur militer
sudah tidak sesuai lagi. Sebab ia akan membangkitkan semangat dan perlawanan,
yang tentunya berseberangan dengan niat para imperialis yang hendak
mengeksploitasi kekayaan negara-negara jajahannya bagi pembangunan negaranya.
Karena itu, sebelum
mereka keluar dari negara-negara jajahannya, mereka berfikir untuk mendapatkan
metode lain, selain kolonialisasi lewat pengerahan militer. Akhirnya mereka
berhasil menentukan alternatif lain, berupa ghaqwuts tsaqafi (perang budaya dan
pemikiran). Yaitu dengan menjadikan putra-putri kita agar mengikuti pengaruh,
tradisi, kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan mereka. Dengan demikian, mereka
akan menjadi abdi (tangan kanan bagi imperialisme baru yang tak membutuhkan
lagi kekuatan militer meski hanya satu orang. Dan inilah yang gencar dilakukan
hingga sekarang.)
Adapun di antara
perhatiandan sasaran utama mereka dalam ghazwuts tsaqafi ini adalah wanita.
Mereka menginginkan agar para wanita muslimah menjadi seperti keadaan
wanita-wanita mereka. Bebas berteman dan bergaul dengan laki-laki, menafikan
kodrat wanita, memperjuangkan emansipasi wanita-pria dalam segala hal, sehingga
menganjurkan wanita berkompetisi dengan laki-laki dalam semua lapangan
kehidupan dan sebagainya.
Untuk mencapai tujuan
itu, mereka menerbitkan ratusan buku, majalah dan koran, memperalat para
bintang film dan seniman, memboyong pertunjukan teater, pemutaran film dan
sinetron, beasiswa pendidikan, berbagai klub, organisasi dan sarana-sarana lain
yang semuanya ditumpahkan agar sasaran utama mereka berhasil. Yakni memperbudak
negara kita tanpa menggunakan kekuatan militer, tapi melalui berbagai macam
kerusuhan dan kerusakan, penghancuran nilai-nilai dan tradisi yang bersumber
dari agama kita yang lurus.
Apa yang kita saksikan
dari berbagai bentuk kemungkaran wanita seperti tabarruj, bepergian jauh tanpa
mahram dan sebagainya adalah hasil ghazwuts tsaqafi, yang dilancarkan sejak
runtuhnya khilafah Islamiyah hingga sekarang. Oleh sebab itu, merupakan
tanggung jawab para ahli kebaikan untuk menghentikan penggerogotan nilai-nilai
dan tradisi kita. Apa yang kami lakukan melalui penulisan buku ini, adalah satu
bentuk usaha untuk menghentikan ghazwuts tsaqafi tersebut sehingga kita kembali
lagi kepada ashalah (kemurnian ajaran Islam), meninggalkan kehinaan dan tidak
mengekor kepada kehendak orang-orang kafir.
Copyright © Al-Sofwa 1999
Komentar
Posting Komentar