Gadai dan Pemanfaatannya
GADAI DAN PEMANFAATANNYA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu
Tugas Mata Kuliah PLSBT
Dosen : Siti Rokayah S. Ag
Oleh
Kelompok 2:
Adam
Ai
Deti
Nur’aeni
Setio
Aji Nugrogho
Tari
Ujang
Suhaya
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SILIWANGI BANDUNG
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan sehari- hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli
atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan
yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau
sudah demikian, mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli berbagai keperluan
yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa
harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana
yang ada.
Porum pegadaian sebagai satu- satunya perusahaan di Indonesia yang
menyelenggarakan bisnis gadai dan sarana pendanaan alternative telah ada sejak
lama dan banyak dikenal masyarakat Indonesia, terutama dikota kecil. Selama ini
pegadaian selalu identik dengan kesusahan dan kesengsaraan, orang yang datang
biasanya berpenampilan lusuh dengan wajah tertekan, tetapi hal itu kini semua
berubah. Porum pegadaian telah berubah diri dengan membangun citra baru. Cukup
membawa agunan, seseorang terbuka peluang untuk mendapatkan pinjaman sesuai dengan
nilai taksiran barang tersebuta. Agunan dapat berbentuk apa saja asalokan
berupa benda bergerak dan bernilai ekonomis. Disamping itu, pemohon juga perlu
menyerahkan surat atau bukti kepemilikan dan identitas diri, selain itu, kini
porum pegadaian banyak menawarkan produk lain selain hanya gadai tradisional.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai?
2. Bagaimana pemanfaatan gadai??
3. Bagaimana hubungan gadai dengan PLSBT?
C. Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gadai
dan bagaimana pemanfaatan gadai serta kaitannya dengan PLSBT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai (Ar-Rahn)
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya
adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); dan bisa juga berarti
al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i,
ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa
dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal
(berhalangan) melunasinya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang
agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan
sebagian dari nilai barang gadainya itu”.
Menurut kitab Undang- Undang Hukum perdata pasal 1150
disebutkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas
suatu barang bergerak, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang
itu utuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripadaorang yang berpiutang lainya; dengan pengecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang itu
setelah digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Secara umum
usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada kepada pihak
tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus
kembali sesuai perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. Pegadaian
terdiri dari dua macam, yaitu pegadaian konvensional dan pegadaian syariah.
Pegadaian adalah lembaga yang melakukan pembiayaan dengan bentuk penyaluran
kredit atas dasar hukum kredit.
B.
Landasan disyariatkannya Gadai
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam
baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini
berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan
Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:
1. Al-Qur’an
Firman Allah Azza wa
Jalla:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah/2: 283)
Allah Azza wa
Jalla menyebutkan “barang” di dalam ayat
tersebut, secara eksplisit tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau
obyek pegadaian.
2. Al-Hadits
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى
أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu
‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan
kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan
Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ
رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ
يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu
‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara
Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).
3. Ijma’ (konsensus) para ulama
Para ulama telah bersepakat akan
diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang
pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim. Akan tetapi, pendapat
yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut.
Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas
menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah
gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.
C.
Unsur dan Rukun Gadai
1. Unsur gadai
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini
memiliki empat unsur, yaitu:
a. Ar-Rahin, Yaitu orang
yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.
b. Al-Murtahin, Yaitu orang
yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c. Al-Marhun/ Ar-Rahn,
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
d. Al-Marhun bihi, Yaitu uang
dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
2. Rukun gadai (Ar-Rahn)
a. Shighat (ijab dan qabul).
b. Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn),
yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin).
c. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi
obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan
utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada
ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika
semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan
oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn)
tersebut sah.
3. Syarat gadai (Ar-Rahn)
Disyaratkan
dalam muamalah gadai adalah sebagai berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang
yang bertransaksi yaitu orang yang
menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas,
yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun
(barang gadai) ada dua:
a.
Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat
menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
b.
Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan
gadai.
c.
Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran,
jenis dan sifatnya, karena ar-rahn adalah
transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun
bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
D. Keuntungan Usaha Gadai
Tujuan utama
usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan
uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang
rentenir yang bunganya relatif tinggi. Perusahaan pegadaian menyediakan
pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Meminjam uang ke perum
pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah dan cepat, tetapi karena
biaya yang dibebankan lebih ringan jika dibandingkan dengan para pelepas uang
atau tukang ijon. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari perum
pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan moto “meyelesaikan
masalah tanpa masalah”.
Jika seseorang membutuhkan dana
sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke
bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi, kendala utamanya adalah
prosedurnya yang rumit dan memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian
disamping itu, persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang
harus lengkap, membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Begitu
pula dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak
semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
Namun, di perusahaan pegadaian begitu
mudah dilakukan, masyarakat cukup datang ke kantor pegadaian terdekat dengan
membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjaman pun dalam waktu singkat
dapat terpenuhi. Jaminannya pun cukup sederhana sebagai contoh adalah jaminan
dengan jam tangan saja sudah cukup untuk memperoleh sejumlah uang dan hal ini
hampir mustahil dapat diperoleh di lembaga keuangan lainnya.
Keuntungan lain di pegadaian adalah
pihak pegadaian tidak mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan
hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak perbankan yang harus dibuat
serinci mungkin tentang penggunaan uangnya. Begitu pula dengan sangsi yang
diberikan relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu.
Sangsi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk
menutupi kekurangan pinjaman yang telah diberikan.
Jadi keuntungan perusahaan pegadaian
jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan lainnya
adalah:
1. Waktu yang relatif singkat untuk
memperoleh uang, yaitu paada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnyayang
tidak berbelit-belit;
2. Persyaratan yang sangat sederhana
sehingga memudahkan konsumen untuk memenuhinya;
3. Pihak pegadaian tidak
mempermasalahkan uang tersebut digunakan untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak
nasabahnya.
E. Ketentuan Umum dalam Muamalah Gadai
Ada
beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima
barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan
Barang
yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi
jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat
diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk
diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang
demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat
dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh
karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan,
kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan
demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian
ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ
الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu
‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang
hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun
‘Alaihi)
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad
gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk
diperjual-belikan.”
Oleh karena itu jenis barang yang
dapat diterima sebagai barang jaminan pada prinsipnya adalah barang
bergerak, antara lain:
a. Barang dan perhiasan : yaitu semua
perhiasan yang dibuat dari emas, perhiasan perak, platina, baik yang berhiaskan
intan, mutiara.
b.
Barang-barang
elektronik: laptop, TV, kulkas, radio, tape recorder,vcd/dvd, radio
kaset.
c. Kendaran : sepeda, sepeda motor,
mobil.
d. Barang-barang rumah tangga
e. Mesin, mesin jahit, mesin motor
kapal.
f. Tekstil
g. Barang-barang lain yang dianggap
bernilai seperti surat-surat berharga baik dalam bentuk saham, obligasi, maupun
surat-surat berharga lainnya.
2.
Barang Gadai Adalah Amanah
Barang
gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan
dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir
uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya
sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan
dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut
kembali ke tangannya.
Status
barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang
harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah,
bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur
dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian.
Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi
utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka
persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3.
Barang Gadai Dipegang Pemberi Utang
Barang
gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut,
sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah/2: 283).
Dan sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa sallam:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila
digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib
bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits
Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini
lafazhnya).
4.
Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak
pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum
dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga
pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun
pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai
jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan
demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian,
baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan
tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin
pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan
manfaat maka itu adalah riba.1 Demikianlah
hukum asal pegadaian.
Namun di sana ada keadaan tertentu yang
membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh
menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan
barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya
sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal
ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
“Binatang tunggangan boleh
ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan,
dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya
bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir
no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439
no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).
Syaikh
Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan
bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai
dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi
miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air
susu yang diperas oleh yang menerima gadai.
5.
Biaya Perawatan Barang Gadai
Jika
barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan,
dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
a.
Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik
uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
b.
Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh
menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak
boleh lebih.
Maksud
barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan
rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya
butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa
memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia
keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah
pemanfaatan barang gadai.
6.
Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Apabila
pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban
melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi
utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya.
Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi
utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang
tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik
barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat
melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung
sisa utangnya.
F.
Gadai kaitannya dengan PLSBT
Dalam istilah
fiqih gadai dikenal dangan sebutan Ar-rahn. Bentuknya adalah menyimpan
sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang di berikan
oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti barang yang dititipkan pada si
piutang bisa diambil kembali dalam jangka waktu tertentu. Hukum gadai secara
hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur riba. Bahkan beberapa
kali tercatat Rasulullah SAW menggadaikan harta bendanya. Dalam gadai secara
syariah tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang.
Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar
biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika
kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir
tiap jamnya? Maka ketika kita seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada
hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah
yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang. Perbedaan utama
antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga.
Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang.
BAB III
KESIMPULAN
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya
adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); dan bisa juga berarti
al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i,
ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa
dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal
(berhalangan) melunasinya. Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik
dalam keadaan safar maupun mukim.
Tujuan utama
usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan
uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang
rentenir yang bunganya relatif tinggi.
DAFTAR PUSTKA
Hukum Pegadaian dalam Fiqih Islam, 1435 H, Oleh : Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawas حفظه الله
Soemitra, Andri.2009. Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Media Group
Suhendi, Hendi.2008. Fiqh
Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Komentar
Posting Komentar