Gadai dan Pemanfaatannya



GADAI DAN PEMANFAATANNYA


MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah PLSBT
Dosen : Siti Rokayah S. Ag




  

  

   
Oleh Kelompok 2:

Adam
Ai Deti
Nur’aeni
Setio Aji Nugrogho
Tari
Ujang Suhaya





JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI BANDUNG
2015/2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
       Dalam kegiatan sehari- hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian, mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli berbagai keperluan yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada.
       Porum pegadaian sebagai satu- satunya perusahaan di Indonesia yang menyelenggarakan bisnis gadai dan sarana pendanaan alternative telah ada sejak lama dan banyak dikenal masyarakat Indonesia, terutama dikota kecil. Selama ini pegadaian selalu identik dengan kesusahan dan kesengsaraan, orang yang datang biasanya berpenampilan lusuh dengan wajah tertekan, tetapi hal itu kini semua berubah. Porum pegadaian telah berubah diri dengan membangun citra baru. Cukup membawa agunan, seseorang terbuka peluang untuk mendapatkan pinjaman sesuai dengan nilai taksiran barang tersebuta. Agunan dapat berbentuk apa saja asalokan berupa benda bergerak dan bernilai ekonomis. Disamping itu, pemohon juga perlu menyerahkan surat atau bukti kepemilikan dan identitas diri, selain itu, kini porum pegadaian banyak menawarkan produk lain selain hanya gadai tradisional.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai?
2. Bagaimana pemanfaatan gadai??
3. Bagaimana hubungan gadai dengan PLSBT?

C. Tujuan
       Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gadai dan bagaimana pemanfaatan gadai serta kaitannya dengan PLSBT.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Gadai (Ar-Rahn)
       Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); dan bisa juga berarti al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.
       Menurut kitab Undang- Undang Hukum perdata pasal 1150 disebutkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu utuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripadaorang yang berpiutang lainya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang itu setelah digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
       Secara umum usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. Pegadaian terdiri dari dua macam, yaitu pegadaian konvensional dan pegadaian syariah. Pegadaian adalah lembaga yang melakukan pembiayaan dengan bentuk penyaluran kredit atas dasar hukum kredit.

B.  Landasan disyariatkannya Gadai
       Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini
berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

1. Al-Qur’an
Firman Allah Azza wa Jalla:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah/2: 283)
       Allah Azza wa Jalla menyebutkan “barang” di dalam ayat tersebut, secara eksplisit tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.
2. Al-Hadits
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).
3. Ijma’ (konsensus) para ulama
       Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim. Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.

C.  Unsur dan Rukun Gadai
1. Unsur gadai
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
a. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.
b. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
c. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
d. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.
2. Rukun gadai (Ar-Rahn)
a. Shighat (ijab dan qabul).
b. Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin).
c. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
       Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.
3.    Syarat gadai (Ar-Rahn)
Disyaratkan dalam muamalah gadai adalah sebagai berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
a.    Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
b.    Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c.    Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

D.    Keuntungan Usaha Gadai
       Tujuan utama usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang rentenir yang bunganya relatif tinggi. Perusahaan pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan barang-barang berharga. Meminjam uang ke perum pegadaian bukan saja karena prosedurnya yang mudah dan cepat, tetapi karena biaya yang dibebankan lebih ringan jika dibandingkan dengan para pelepas uang atau tukang ijon. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari perum pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan moto “meyelesaikan masalah tanpa masalah”.
       Jika seseorang membutuhkan dana sebenarnya dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi, kendala utamanya adalah prosedurnya yang rumit dan memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian disamping itu, persyaratan yang lebih sulit untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap, membuat masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhinya. Begitu pula dengan jaminan yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat dijadikan jaminan di bank.
       Namun, di perusahaan pegadaian begitu mudah dilakukan, masyarakat cukup datang ke kantor pegadaian terdekat dengan membawa jaminan barang tertentu, maka uang pinjaman pun dalam waktu singkat dapat terpenuhi. Jaminannya pun cukup sederhana sebagai contoh adalah jaminan dengan jam tangan saja sudah cukup untuk memperoleh sejumlah uang dan hal ini hampir mustahil dapat diperoleh di lembaga keuangan lainnya.
       Keuntungan lain di pegadaian adalah pihak pegadaian tidak mempermasalahkan untuk apa uang tersebut digunakan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan pihak perbankan yang harus dibuat serinci mungkin tentang penggunaan uangnya. Begitu pula dengan sangsi yang diberikan relatif ringan, apabila tidak dapat melunasi dalam waktu tertentu. Sangsi yang paling berat adalah jaminan yang disimpan akan dilelang untuk menutupi kekurangan pinjaman yang telah diberikan.
       Jadi keuntungan perusahaan pegadaian jika dibandingkan dengan lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan lainnya adalah:
1.    Waktu yang relatif singkat untuk memperoleh uang, yaitu paada hari itu juga, hal ini disebabkan prosedurnyayang tidak berbelit-belit;
2.    Persyaratan yang sangat sederhana sehingga memudahkan konsumen untuk memenuhinya;
3.    Pihak pegadaian tidak mempermasalahkan uang tersebut digunakan untuk apa, jadi sesuai dengan kehendak nasabahnya.

E.       Ketentuan Umum dalam Muamalah Gadai
       Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
1.    Barang yang Dapat Digadaikan
       Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
       Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ  رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
       Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”
       Oleh karena itu jenis barang yang dapat  diterima sebagai barang jaminan pada prinsipnya adalah barang bergerak, antara lain:
a.    Barang dan perhiasan : yaitu semua perhiasan yang dibuat dari emas, perhiasan perak, platina, baik yang berhiaskan intan, mutiara.
b.    Barang-barang elektronik: laptop, TV, kulkas, radio, tape recorder,vcd/dvd, radio kaset.
c.    Kendaran : sepeda, sepeda motor, mobil.
d.   Barang-barang rumah tangga
e.    Mesin, mesin jahit, mesin motor kapal.
f.     Tekstil
g.    Barang-barang lain yang dianggap bernilai seperti surat-surat berharga baik dalam bentuk saham, obligasi, maupun surat-surat berharga lainnya.
2.    Barang Gadai Adalah Amanah
       Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
       Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3.    Barang Gadai Dipegang Pemberi Utang
       Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah/2: 283).
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).
4.    Pemanfaatan Barang Gadai
       Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
       Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.1 Demikianlah hukum asal pegadaian.
       Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).
    Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan    keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.
5.    Biaya Perawatan Barang Gadai
       Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
a.    Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
b.    Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.
       Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.
6.    Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
       Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.

F.      Gadai kaitannya dengan PLSBT
Dalam istilah fiqih gadai dikenal dangan sebutan Ar-rahn. Bentuknya adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang di berikan oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti barang yang dititipkan pada si piutang bisa diambil kembali dalam jangka waktu tertentu. Hukum gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur riba. Bahkan beberapa kali tercatat Rasulullah SAW menggadaikan harta bendanya. Dalam gadai secara syariah tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir tiap jamnya? Maka ketika kita seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang. Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang.

BAB III
KESIMPULAN
       Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); dan bisa juga berarti al-ihtibas wa al-luzum (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya. Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim.
       Tujuan utama usaha pegadaian adalah untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang ijon atau tukang rentenir yang bunganya relatif tinggi.

DAFTAR PUSTKA
Hukum Pegadaian dalam Fiqih Islam, 1435 H, Oleh : Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawas  حفظه الله
Soemitra, Andri.2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Media Group
Suhendi, Hendi.2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perkembangan Bahasa Indonesia

Islam Agama Yang Sempurna

Makalah Ushul Fiqh